Sabtu, 19 November 2016

Kerajaan Aruteun

Tahun Berdiri : Akhir Abad 4 (ada yang menyebutkan tahun 430 M)
Masa : Abad 5- abad 6 Masehi
Pusat Kerajaan : Bogor
Ibukota : Muara Sungai Aruteun
Nama Lain : Holotan
Raja Pertama : ?
Raja Terkenal : ?
Jumlah raja : ?
Agama Kerajaan : Hindu

Kerajaan Aruteun atau Holotan merupakan sebuah kerajaan bercorak Hindu yang pernah berdiri di Jawa barat. Pusat kekuasaan kerajaan Aruteun adalah di Bogor dengan ibu kotanya di muara Sungai Aruteun di sebelah utara barat laut kota Bogor sekarang.

Sumber Sejarah Kerajaan Aruteun

Menurut catatan resmi Kekaisaran diansti Sung, yang tercatat dalam buku Sejarah lama Dinasti Sung menyebutkan : Kerajaan holotan muncul sebagai nama sebuah kerajaan di Jawa yang pernah mengirimkan utusan ke Kaisaran cina pada tahun 430, 433, 434, 435, 437 dan terakhir tahun 452 Masehi. Sejarah lama Dinasti Sung menguraiklan bahwa utusan Kerajaan Aruteun (yang disebuyt Hootan) pada taun 430 meminta perlindungan kepada Kaisar China terehadap ancaman-ancaman dari negara tetangganya. itulah salah satu sebab Kerajaan Aruteun mengirimkan utusan itu diulanginya beberapa kali sampaiu terakhir tahun 452 M.
Kerajaan Aruteun ini kemungkinan besar hancur akibat penaklukan Kerajaan tarumanegara, atau mungkin menjadi keraajan Bawahan Kerajaan tarumenagra setelah penaklukan tersebut.
Tidak banyak diketahui tentang kerajaan ini. Namun berita dari dinasti Sung dapat mengokohkan Aruteun sebagai salah satu kerajaan yang pernah berdiri di Jawa barat.

Sumber tulisan :
-www.mail-archive.com

Jumat, 06 Mei 2016

Sejarah Raja-raja Kerajaan Galuh

Prasasti Kawali Salalah satu peninggalan kerajaan Galuh (makan11.blogspot.com)

Kerajaan Galuh merupakan salah satu kerajaan besar yang pernah ada di Tatar Sunda. Berdiri sekitar tahun 612 Masehi dan berakhir tahun 1482 Masehi, saat kerajaan ini digabungkan bersama dengan Kerajaan Sunda di barat dan bersatu dalam kebesaran panji Kerajaan Pajajaran. Berikut sejarah mengenai raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Galuh : 

1. Maharajaresi Wretikandayun (612 – 702 M)
Wretikandayun dilahirkan pada tahun 591. Pendiri Kerajaan Galuh ini dinobatkan sebagai raja Kerajaan Galuh setelah ayahnya (Kandiawan / raja Kerajaan Medang Jati) mengundurkan diri, tepatnya pada tanggal 23 Maret 612.  Beliau mulai memegang kekuasaan Galuh saat berusia 21 tahun.
Di bawah kekuasaannya, Angkatan perang Kerajaan Galuh, semakin hari semakin kuat. Dengan demikian, saat itu Galuh menjadi suatu kekuatan yang diperhitungkan oleh kerajaan-kerajaan lain. Bahkan, Galuh juga telah membina hubungan kerjasama dengan kerajaan-kerajaan yang berada di Jawa bagian tengah dan timur.
Karena Wretikandayun, dianugerahi umur yang panjang, maka lamanya masa kekuasaan beliau sama dengan lama masa kekuasaan 6 orang raja di Tarumanagara. Dimana saat itu, Galuh masih merupakan bawahan dari Kerajaan Tarumanagara.
Pada tahun 670, Kerajaan Tarumanagara telah berganti nama menjadi Kerajaan Sunda di bawah kekuasaan Tarusbawa. Keadaan itu dijadikan alasan bagi Wretikandayun untuk memisahkan diri dari Tarumanagara / Sunda. Kebijakannya itu diambil dikarenakan Kerajaan Galuh selanjutnya tidak ingin diatur oleh generasi penerus Kerajaan Tarumanagara yang usianya lebih muda (saat itu usia Tarusbawa lebih muda 41 tahun dari usia Wretikandayun).
Untuk menjalankan rencana pemisahan diri itu, Wretikandayun mengirimkan surat kepada Tarusbawa, yang isinya adalah (dikutip langsung dari buku Sejarah Jawa Barat karya Drs. Yoseph Iskandar) :
“ Sejak sekarang, kami bersama semua kerajaan yang terletak dalam wilayah sebelah timur Citarum, tidak lagi tunduk di bawah kekuasaan Tarumanagara. Jadi, tidak lagi mengakui Tuan (pakanira) sebagai ratu. Akan tetapi, hubungan persahabatan di antara kita tidak perlu terputus, bahkan mudah-mudahan menjadi semakin akrab.
Karena itu, daerah-daerah di sebelah barat Citarum, tetap berada di bawah pemerintahan Tuan, sedangkan daerah-daerah di sebelah timur Citarum menjadi bawahan kami, dan sejak sekarang kami tidak mau lagi mempersembahkan upeti kepada Tuan. Kemudian, janganlah hendaknya angkatan perang Tuan menyerang kerajaan kami, Galuh Pakuan, sebab tindakan semacam itu percuma. Angkatan perang Kerajaan Galuh ada kira-kira tiga kali lipat angkatan perang Tuan dan sangat lengkap persenjataannya.
Di samping itu, banyak kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang bersahabat dengan kami dan mereka sanggup memberikan bantuan perlengkapan bagi angkatan perang kami. Hal ini Tuan maklumi. Nanti kami rukun bersahabat sama-sama menghendaki kesejahteraan negara kita dan kecukupan kehidupan rakyat kita serta bersama-sama menjauhkan malapetaka. Semoga Yang Mahakuasa memusnahkan siapapun yang berwatak lalim dan culas serta tidak mengenal perikemanusiaan (karunya ning cita ring samaya).”
Akhirnya Tarusbawa menerima tuntutannya dan kerajaan Galuh menjadi sejajar Kerajaan Sunda, dengan sungai Citarum sebagai batasnya.
Wretikandayun memiliki permaisuri yang bernama Manawati (puteri dari Resi Makandria / pendeta Hindu). Sebagai permaisuri, Manawati diberi gelar Candraresmi. Dari pernikahannya itu, mereka dikaruniai beberapa orang anak, antara lain :
1.  Sempakwaja, lahir tahun 620 kemudian menjadi raja dan resiguru di  Kerajaan Galunggung.
2. Jantaka, lahir tahun 622 kemudian menjadi raja dan resiguru di Kerajaan Denuh.
3.   Amara, lahir tahun 624 kemudian menjadi penerus kerajaan Galuh.
Untuk menggantikan kekuasaannya, Wretikandayun menunjuk Amara sebagai putera mahkota, hal ini terjadi karena anak sulungnya (Sempakwaja) tidak dapat mewarisi tahta Galuh karena ompong (menurut tradisi kerajaan, seorang raja tidak boleh memiliki cacat jasmani), begitu juga dengan anak keduanya (Jantaka) yang menderita hernia. Berbeda dengan kedua kakanya yang menjadi rajaresi (taat pada agama), Amara malahan tumbuh sebagai anak yang bersikap liar.
Wretikandayun yang telah membawa Kerajaan Galuh menjadi kerajaan yang kuat dan disegani, kebesarannya menjadi tercoreng akibat ulah putera bungsunya (Amara) yang sangat dimanja oleh Wretikandayun.
Peristiwa itu berawal pada saat malam purnama, Wretikandayun mengadakan pesta perjamuan yang dihadiri oleh para pembesar Galuh, tak lupa ketiga anaknya diundang. Tetapi Sempakwaja  yang berada di Galunggung tidak dapat hadir karena sakit dan dirawat oleh anak-anaknya, akhirnya Sempakwaja mengutus istrinya yang bernama Pohaci Rababu untuk mewakili demi menghormati undangan sang ayah.
Pohaci Rababu yang berparas cantik membuat sang putera mahkota Galuh (Amara) terpesona. Berawal dari pesta itu, akhirnya Amara dan Pohaci Rababu semakin akrab. Amara yang terkenal perayu ulung telah membuat  kakak iparnya itu terbuai dan melupakan suaminya. Pohaci Rababu tinggal di Keraton galuh selama 4 hari 4 malam dan terjadilah perbuatan skandal antara Amara dengan Pohaci Rababu.
Dari hubungan gelap itu akhirnya membuat Pohaci Rababu mengadung bayi dari Amara. Sementara itu, Sempakwaja mengetahui bahwa istrinya mengandung dari hasil hubungan gelap dengan adiknya. Namun, Sempakwaja terlalu mecintai istrinya itu, sehingga seburuk apapun yang telah dilakukan oleh istrinya, Sempakwaja tetap menerima Pohaci Rababu sebagai seorang istri. Akan tetapi, Sempakwaja meminta kepada istrinya itu, apabila bayinya telah lahir maka bayi tersebut harus diserahkan Amara.
Akhirnya pada tahun 661, Pohaci Rababu melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian dibawa ke Galuh untuk diserahkan kepada Amara. Setelah menyerahkan bayi tersebut, Pohaci Rababu segera pergi dari keraton Galuh dan berkumpul kembai bersama suami dan anak-anaknya di Galunggung. Bayi laki-laki tersebut kemudian oleh Amara diberi nama Bratasenawa (Sena).
Peristiwa memalukan yang dibuat oleh sang putra mahkota itu menggemparkan kalangan keluarga keraton Galuh. Wretikandayun sebagai seorang raja yang bijaksana kemudian  meredakan pergunjingan ini, dengan jalan meminta Amara untuk pergi ke Kalingga (sekarang wilayah Jawa Tengah).
Di Kalingga, Amara dijodohkan dengan Dewi Parwati (puteri dari  pasangan Kartikeyasinga - Maharani Sima / raja Kalingga). Dari pernikahannya ini, mereka dikaruniai anak perempuan yang bernama Sanaha.
Melalui  pernikahan Galuh-Kalingga ini, maka Galuh mendapatkan dua keuntungan, pertama, citra buruk dari Amara dapat dipulihkan, dan yang kedua, Galuh mendapatkan sekutu yang kuat (Kalingga saat itu merupakan salah satu kerajaan terbesar di Nusantara).
Saat Kartikeyasinga wafat tahun 674, tahta Kalingga diserahkan pada istrinya yang bernama Maharani Sima. Di masa pemerintahan Maharani Sima, hubungan kerajaan Kalingga dengan kerajaan Sriwijaya memanas.
Maharani Sima wafat pada tahun 695 dan wilayah Kalingga dibagi 2 kepada anak-anaknya. Melalui pembagian itu Dewi Parwati memperoleh warisan bagian utara Kalingga, yang disebut Bumi Mataram. Dengan demikian, Amara selaku suami dari Dewi Parwati dinobatkan menjadi raja Bumi Mataram.
Di Galuh, Wretikandayun wafat pada tahun 702, dalam usia 111 tahun. Amara yang menjabat sebagai raja Bumi Mataram dipanggil pulang ke Galuh dan kemudian tahta Galuh dipegang oleh Amara.

2. Amara/Mandiminyak (702 – 709 M)
Amara menjadi raja Galuh ke-2 dengan gelar Mandiminyak. Gelar itu diperoleh karena tubuh Amara selalu wangi dan bercahaya bagaikan dibubuhi minyak. Saat itu, beliau memerintah di Galuh sedangkan kekuasaannya di Bumi Mataram dipegang oleh Dewi Parwati (istrinya).
Amara memiliki 2 orang putera puteri dari kedua istrinya. Dari hubungan gelap dengan kakak iparnya (Pohaci Rababu), lahir Bratasenawa. Sedangkan dari permaisurinya yang syah (Dewi Parwati), Amara memiliki anak perempuan yang bernama Sanaha. Kedua anak yang se-ayah itu kemudian dijodohkan (perkawinan Manu) dan dari perkawinannya itu lahirlah Sanjaya (lahir tahun 683). Pada tahun 703, Sanjaya menikah dengan Sekar Kencana (cucu dari Tarusbawa / raja Sunda peratama).
Perkawinan antar cucu dari 2 raja besar di barat Jawa tersebut, membuat kedudukan Amara menjadi semakin kuat walaupun kehadirannya di Galuh tidak disenangi oleh beberapa kalangan. Masa lalu Amara yang pernah membuat skandal, belum hilang di ingatan sebagaian kalangan keraton. Amara wafat pada tahun 709, kemudian kekuasaan Galuh diserahkan pada anaknya yang bernama Bratasenawa.

3. Bratasenawa  (709 - 716 M)
Beliau Lebih dikenal sebagai  Sena. Beliau merupakan Raja Galuh ketiga. Dia merupakan anak dari hubungan gelap antara Amara dan Pohaci Rababu. Bratasenawa memiliki putera yang bernama Sanjaya. Dari pernikahan Sanjaya dengan cucu Tarusbawa, maka Bratasenawa dikenal sebagai sahabat baik dari Tarusbawa.
Sikap yang dimiliki Bratasenawa berbeda dengan sikap ayahnya yang masa mudanya terkenal liar. Bratasenawa merupakan raja yang taat beragama dan bijaksana. Tapi sikap baiknya itu tetap tidak dapat diterima oleh sebagian pembesar Galuh, mengingat Bratasenawa adalah anak hasil dari hubungan gelap.
Banyak orang yang membenci keberadaan Bratasenawa sebagai raja Galuh, tetapi hanya 2 orang yang sangat-sangat membenci Bratasenawa. Dua orang tersebut adalah Purbasora dan Demunawan, mereka tak lain adalah putera pasangan Sempakwaja dengan Pohaci Rababu. Dengan demikian mereka berdua adalah saudara se-ibu dari Bratasenawa. Kedua orang itu sangat membenci Bratasenawa dikarenakan mereka merasa lebih berhak untuk meneruskan tahta Galuh daripada “anak hasil skandal ibunya” tersebut. Karena asal-usul Bratasenawa yang kurang baik  itulah  yang  membuat  Purbasora menginginkan merebut  tahta Galuh.
Pada tahun 716, dengan dukungan dari mertua Purbasora (Resi Padmahariwangsa / raja Indraprahasta), mertua Demunawan (Wiraganti / raja  Kuningan), dan Bimaraksa atau lebih dikenal dengan sebutan Ki Balagantrang  (putra dari Resiguru Jantaka / putera kedua Wretikandayun yang telah menjadi raja Kerajaan Denuh), Purbasora menyiapkan pasukan untuk melakukan kudeta di Galuh. Namun, sebelumnya rencana Purbasora itu telah diketahui oleh Bratasenawa. Untuk mengatasi masalah ini, Bratasenawa segera meminta bantuan pada Kerajaan Sunda. Dikarenakan jarak Galuh – Pakuan itu sangat jauh, maka kedatangan pasukan bantuan dari Kerajaan Sunda tidak berpengaruh pada perubahan situasi politik di Galuh. Prajurit Sunda datang setelah Purbasora berhasil merebut tahta dari Bratasenawa dengan secepat kilat.
Sebelum Purbasora berhasil merebut tahta Galuh, Bratasenawa sudah memperhitungkan itu dan melarikan diri ke Bumi Mataram yang saat itu masih dipegang oleh ibu tirinya / ibu mertuanya (Dewi Parwati). Di Bumi Mataram ini, Bratasenawa pun tercatat sebagai putera mahkota kerajaan.
Purbasora yang begitu benci pada Bratasenawa, akhirnya hanya menyingkirkan para pengikut-pengikut dari Bratasenawa saja. Beberapa kalangan Galuh yang lain, banyak yang mendukung Purbasora. Bahkan di saat Purbasora melakukan penyerbuan, prajurit-prajurit Galuh seakan “sengaja mengalah” dalam menghadapi pasukan Purbasora.
Pasukan Sunda yang datang setelah Galuh berganti kekuasaan, tidak mengetahui ketika yang menyambut di alun-alun adalah pasukan dari Purbasora. Duta kerajaan Sunda yang berada di Galuh kemudian memberitahukan keadaan terakhir yang terjadi di Galuh kepada panglima pasukan Sunda. Pihak Galuh intinya tidak mau melakukan peperangan dengan pihak Sunda.
Pasukan Sunda yang datang dengan maksud membantu Bratasenawa (selaku besan dari Tarusbawa), tentunya merasa terkejut dengan pemberitahuan ini. Akan tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena keadaan sudah berlalu dan Bratasenawa pun dikabarkan selamat tiba di Bumi Mataram.

4. Purbasora (716 – 726 M)
Purbasora akhirnya menjadi Raja Galuh ke-4, sedangkan Bimaraksa (selaku pimpinan penyerangan saat kudeta) diangkat menjadi senapati membawahi pasukan-pasukan tangguh yang diambil dari kerajaan Indraprahasta.
Purbasora memiliki permaisuri yang bernama Citra Kirana (puteri sulung raja Indraprahasta). Dari perkawinannya tersebut, pasangan Purbasora dan Citra Kirana memiliki putera sulung yang bernama Wijayakusuma dan diangkat menjadi putera mahkota Galuh. Sedangkan puteri lainnya dari Purbasora, dinikahkan dengan Bimaraksa (putera  sulung Jantaka / raja Kerajaan Denuh).
Pada masa kepemimpinannya, langkah pertama yang diambil adalah mengadakan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Sunda. Tarusbawa sebagai raja Sunda tetap menerima permintaan hubungan baik itu, meskipun kini Galuh telah diperintah oleh seorang yang telah mengusir besannya.
Dalam menjalani kekuasaannya, Purbasora berada dalam hati penuh ketegangan dan kewaspadaan. Beliau takut apabila Bratasenawa melancarkan serangan balasan yang tentunya akan didukung oleh Kerajaan Bumi Mataram. Yang pasti akibat peristiwa kudeta Galuh, hubungan antara Galuh dan Bumi Mataram menjadi renggang dan bermusuhan. Padahal di masa pemerintahan Wretikandayun, Galuh dengan Kalingga (cikal bakal Kerajaan Bumi Mataram dan Kerajaan Bumi Sembara) sangat bersahabat.
Meskipun dalam taraf kesiagaan penuh, namun Galuh tidak menyangka bahwa pasukan dari Bumi Mataram dan Bumi Sembara dibawah pimpinan Sanjaya (anak Bratasenawa) telah memasuki wilayah barat Jawa dan menghimpun kekuatan di kaki Gunung Sawal.
Pada tahun 723,  raja Sunda (Tarusbawa) wafat. Sanjaya yang juga merupakan cucu (dari istrinya) Tarusbawa, dinobatkan menjadi raja Sunda. Penobatan itu berlangsung ketika Sanjaya sedang giat melatih pasukannya di kaki Gunung Sawal untuk menyerang Galuh. Dengan posisinya sebagai raja Sunda, maka Sanjaya juga melibatkan pasukan Sunda untuk melakukan penyerangan (padahal, di masa Tarusbawa berkuasa, Kerajaan Sunda terikat hubungan diplomatik dengan Galuh).  Dengan demikian, Kerajaan Sunda memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Galuh secara sepihak (tanpa sepengetahuan Galuh).
Suatu malam di tahun 726, serangan kilat yang tidak diduga dari pasukan Sanjaya benar-benar terwujud. Seluruh keluarga Purbasora gugur, bahkan Purbasora sendiri tewas ditangan Sanjaya. Bimaraksa / Ki Balagantrang selaku senapati Galuh dibiarkan lolos oleh Sanjaya dan bersembunyi di daerah Geger Sunten (sekarang Kampung Sodong, Desa Tambaksari, Kecamatan Rancah, Kabupaten Ciamis). Hal ini terjadi dikarenakan Sanjaya hanya dendam pada Purbasora dan keluarganya.
Setelah Sanjaya berhasil menguasai Galuh, akhirnya Galuh kembali menjadi kerajaan dibawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Sanjaya sendiri tidak berniat untuk mengambil alih tahta Galuh (penyerangannya itu hanya dikarenakan untuk membalaskan dendam ayahnya). Dengan alasan itulah, Sanjaya meminta Demunawan (adik Purbasora) sebagai penerus tahta Galuh.
Tetapi permintaan itu ditolak oleh Danghiyang Guru Sempakwaja (ayah dari Purbasora dan Demunawan yang saat itu sudah berusia 103 tahun dan menjabat sebagai penguasa Kerajaan Galunggung). Sempakwaja jelas merasa sakit hati atas perlakuan Sanjaya terhadap Purbasora, dan beliau tidak mau Demunawan (anak ke-2 nya) menjadi raja bawahan dari seseorang yang telah membunuh anak sulungnya. Lagi pula saat itu Demunawan telah menjadi raja di Kerajaan Kuningan.
Tetapi sebagai pemuka agama yang bijak, Sempakwaja tidak secara terang-terangan menyampaikan isi hatinya itu. Melalui sebuah sindiran dia mengutarakan maksud hatinya kepada Sanjaya, sindiran itu mengatakan bahwa kekuasaan Sanjaya dan keluarganya di Kalingga masih terlalu kecil untuk menjadi “atasan” dari Resiguru Demunawan. Untuk membuktikan hal itu, Sempakwaja mempersilakan kepada Sanjaya untuk mengalahkan dulu “tritunggal” andalannya. “Tritunggal” itu terdiri dari Wiragati (raja Kuningan), Wulan (raja Kajaron), dan Tumanggal (raja Kalanggara). Mereka bertiga adalah raja-raja tangguh dari kerajaan bawahan Galunggung. Apabila Sanjaya berhasil mengalahkan mereka bertiga, maka Sanjaya boleh menjadikan Demunawan sebagai raja bawahannya. Tetapi apabila gagal mengalahkan mereka, maka kekuasaan Galuh ditunjuk sesuai kehendak dari Sempakwaja.
Merasa terbakar atas sindiran itu, akhirnya Sanjaya menyanggupi permintaan tersebut. Dengan emosi yang tersulut, Sanjaya langsung menyerang Kuningan. Tetapi Sanjaya akhirnya harus mengakui kehebatan dari  “tritunggal” dalam pertempuran di dekat Cikuningan. Sanjaya bersama pasukannya dikejar-kejar dan terpaksa mundur kembali ke Galuh.
Dengan kekalahan ini, Sanjaya harus menuruti perintah dari Sempakwaja. Akhirnya Sempakwaja menunjuk Premana Dikusuma (cucu Purbasora dari anaknya yang bernama Wijayakusuma) sebagai penerus tahta Galuh.
Dengan ditunjuknya Premana Dikusuma sebagai raja Galuh, bukan berarti Sanjaya tidak memiliki wewenang sepenuhnya atas Galuh. Sanjaya tetap mempunyai wewenang untuk menunjuk Tamperan Barmawijaya (puteranya) sebagai patih. Kehadiran Tamperan Barmawijaya sebagai patih sekaligus wakil Kerajaan Sunda, dilengkapi oleh beberapa pasukan yang didatangkan langsung dari Kerajaan Sunda untuk melindunginya.

5. Prabu Adi Mulya Sanghiyang Cipta Premana Dikusuma (726 – 732 M)
Beliau dilahirkan pada tahun 683 tahun, dan sejak tahun 703 beliau telah menjadi raja daerah di bawah kepemimpinan Amara, di masa itu beliau dijuluki dengan Ajar Sukaresi.
Premana Dikusuma pertama kali menikah dengan Naganingrum (cucu dari Bimaraksa / Ki Balagantrang), dan mereka memiliki putera bernama Surotama atau dikenal dengan nama Manarah yang lahir pada tahun 718.
Pada saat beliau dinobatkan sebgai Raja Galuh, ketika berusia 43 tahun, Premana Dikusuma telah dikenal sebagai rajaresi karena ketekunannya mendalami agama dan bertapa sejak muda. Ia dijuluki Bagawat Sajala-jala.
Untuk mengikat kesetiaan Premana Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkan raja daerah Galuh ini dengan  Dewi  Pangreyep (puteri dari Anggada, Patih Kerajaan Sunda). Selain itu Sanjaya menunjuk puteranya (Tamperan Barmawijaya) sebagai Patih Galuh sekaligus memimpin "garnizun" Sunda di Galuh.
Kedudukan Premana Dikusuma serba sulit, ia bertindak sebagai raja daerah Galuh menjadi bawahan Raja Sunda yang berarti harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh Kakeknya. Sebenarnya Premana Dikusumah menerima kedudukan Raja Galuh karena terpaksa keadaan, karena beliau tidak berani menolak perintah Sempakwaja yang bijak serta dituakan di lingkungan Galuh. Penunjukkan Premana Dikusuma sebagai raja daerah Galuh oleh Sempakwaja cukup beralasan karena ia masih merupakan cucu dari  Purbasora.
Keterpaksaannya lebih sulit lagi ketika beliau menyadari bahwa sebenarnya patih Tamperan Barmawijaya lah yang sebenarnya berkuasa dalam menjalankan pemerintahannya sehari-hari. Premana Dikusumah hanya dijadikan simbol dari kekuasaan Galuh.
Karena kemelut seperti itu, maka ia lebih memilih meninggalkan istana untuk bertapa di dekat perbatasan Sunda sebelah timur Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya (Dewi Pangreyep). Urusan pemerintahan diserahkan pada Tamperan Barmawijaya.
Dewi Pangreyep yang berasal dari Kerajaan Sunda merasa kesepian berada di Keraton Galuh sejak suaminya menjadi pertapa. Keberadaan Dewi Pangreyep juga banyak yang tidak menyukai, terutama dari pembesar-pembesar Galuh yang anti Sunda.
Keadaan asing itulah yang membuat sang ratu akhirnya dekat dengan sang patih (Tamperan Barmawijaya), yang sama-sama berasal dari Kerajaan Sunda dan sama-sama merupakan cicit dari Tarusbawa. Tamperan Barmawijaya senantiasa melindungi keselamatan sang ratu selama berada di Galuh.
Karena kedekatannya yang terlalu jauh, maka lahirlah Kamarasa atau Banga dari hasil hubungan gelap Dewi Pangreyep dan Tamperan Barmawijaya. Untuk menghapus jejak skandal ini, Tamperan Barmawijaya mengupah seseorang untuk membunuh Premana Dikusuma yang sedang bertapa di hutan Gunung Padang (sebelah timur Citarum / termasuk wilayah Galuh barat).
Berita pembunuhan sang raja itu segera menyebar ke ibu kota Galuh, dan dibumbui oleh berita bahwa Tamperan Barmawijaya telah menangkap dan menewaskan pembunuhnya. Kejadian itu membuat Tamperan Barmawijaya mendapatkan pujian dari kerabat keraton Galuh, kemudian Dewi Pangreyep serta Naganingrum (janda Premana Dikusuma) akhirnya dijadikan permaisuri oleh Tamperan Barmawijaya.
Pada tahun 732, Sanjaya mengadakan konfrensi antar Raja seluruh pulau Jawa, yang salah satu dari hasil konfrensi tersebut mengisyaratkan bahwa Tamperan Barmawijaya menjadi penguasa Sunda sekaligus Galuh. Hasil dari konfrensi itu harus dijunjung tinggi oleh siapapun, sehingga pembesar Galuh pun tidak bisa berbuat banyak dalam mensikapi hasil konfrensi yang kelihatan tidak adil tersebut.
 6. Tamperan  Barmawijaya (732 – 739 M)
Selama periode ini, Kerajaan Galuh disatukan dengan Kerajaan Sunda dibawah kekuasaan Tamperan Barmawijaya, namun raja ini tetap memilih Galuh sebagai pusat dari kekuasaannya.
Di saat kekuasaannya ini pula, rahasia skandal yang dulu pernah dilakukan mengenai hubungan gelap dengan Dewi Pangreyep serta pembunuhan atas Premana Dikusuma terbongkar oleh Bimaraksa yang saat itu sembunyi dan menyamar sebagai penjala ikan di Geger Sunten. Sebelumnya Bimaraksa telah diam-diam menghimpun kekuatan anti keturunan Sanjaya dengan didukung oleh sekitar 799 orang. Untuk membongkar rahasia skandal Tamperan Barmawijaya, Bimaraksa secara sembunyi-sembunyi menghubungi Manarah (anak Premana Dikusuma dari Naganingrum). Salah seorang pengikut Bimaraksa yang bernama Ki Anjali ditugaskan untuk menyamar sebagai pandai besi di ibu kota Galuh.
Manarah yang sebelumnya telah menganggap ayah pada Tamperan Barmawijaya, menjadi balik membencinya dan bertekad untuk membalas kematian ayah kandungnya itu.
Pada tahun 739, Manarah secara diam-diam menyiapkan rencana untuk membalas dendam kematian ayahnya serta untuk mengembalikan tahta Galuh dari Kerajaan Sunda yang dulu telah direbut oleh Sanjaya. Dengan bimbingan Bimaraksa, Manarah melakukan penyerangan mendadak. Sesuai dengan rencana Bimaraksa, penyerbuan ke Galuh dilakukan siang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk Banga (sang putra mahkota). Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang berpura-pura sebagai penyabung ayam. Bimaraksa memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton. Kudeta itu berhasil dalam waktu singkat. Tamperan Barmawijaya dan permaisurinya Dewi Pangreyep serta Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam.
Tetapi Banga kemudian dibiarkan bebas. Pada malam harinya Banga berhasil membebaskan ayah dan ibunya dari tahanan. Akan tetapi hal itu diketahui oleh pasukan pengawal yang segera memberitahukannya kepada Manarah. Terjadilah pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhir dengan kekalahan Banga. Sementara itu pasukan yang mengejar raja Tamperan Barmawijaya dan sang permaisuri Dewi Pangreyep, melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan sehingga menewaskan Tamperan Barmawijaya dan Dewi Pangreyep.
Berita    kematian    Tamperan   Barmawijaya    didengar   oleh Sanjaya yang ketika itu telah memerintah di Bumi Mataram, dan kemudian dengan pasukan besarnya, Sanjaya menyerang Galuh. Namun Manarah telah menduga serangan itu, sehingga ia telah menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh raja di daerah Kuningan yang dulu pernah ditaklukan Sanjaya.
Perang saudara (gotrayuddha) antara sesama keturunan Wretikandayun terjadi selama beberapa hari tanpa ada yang menang maupun yang kalah. Banyak korban yang gugur dalam peperangan besar itu. Dalam keadaan yang mengenaskan, Demunawan turun dari Saung Galah untuk meredakan peperangan. Dengan wibawanya yang besar serta dihormati sebagai seorang sesepuh, Demunawan berhasil menghentikan pertempuran  dengan jalan mengajak kedua belah pihak yang bertikai untuk berunding di keraton Galuh pada tahun 739. Salah satu isi dari perundingan itu dicapai kesepakatan bahwa :
1.  Negeri Sunda dengan wilayah dari Citarum ke barat dirajai oleh   Kamarasa atau Banga.
2.  Negeri Galuh dengan wilayah dari Citarum ke timur dirajai oleh Surotama atau Manarah.
3. Demunawan menguasai negeri Saung Galah (Kuningan) dan bekas kawasan Kerajaan Galunggung.
4.  Sanjaya memerintah di Bumi Mataram.

7. Manarah / Surotama (739 – 783 M)
Manarah sebagai anak dari Premana Dikusuma (dikenal juga sebagai Ciung Wanara dalam cerita tradisional Sunda), menjadi penguasa Galuh setelah dia berhasil menyerang Kerajaan Sunda, keadaan itu membuat Galuh kembali menjadi kerajaan yang merdeka.  Beliau dinobatkan sebagai raja Galuh dengan gelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana.
Manarah memperistri Kancanawangi (cicit Resiguru Demunawan). Kancanawangi  merupakan kakak dari istri Rakeyan Banga. Dari permaisuri ini, Manarah memperoleh puteri yang bernama Puspasari.
Pada tahun 783, Manarah melakukan "Manurajasuniya" (mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir hayat) dan baru wafat pada tahun 798 dalam usia 80 tahun. 

8. Manisri  (783 – 799 M)
Beliau merupakan menantu dari Manarah, melalui pernikahannya dengan Puspasari. Ketika dinobatkan sebagai raja Galuh, beliau diberi gelar Prabu Darmasakti Wirajayeswara. Beliau memiliki dua orang putera, antara lain :
1.  Tariwulan, kemudian menjadi penerus tahta Galuh.
2.  Rakeyan Hujungkulon, kemudian menikah dengan Dewi Samatha (puteri Rakeyan Medang / raja  Sunda ke-5). Dari ikatan pernikahannya ini, beliau akhirnya menjadi raja Sunda ke-6. 

9. Tariwulan (799 – 806 M)
Tariwulan adalah anak dari Manisri, beliau bergelar Prabu Kretayasa Dewakusaleswara. Tariwulan memiliki permaisuri yang bernama Dewi Saraswati (dari Kerajaan Saung Galah / Kuningan, keturunan Demunawan). 

10. Welengan  (806 – 813 M)
Beliau merupakan anak dari Tariwulan, beliau bergelar Prabu Brajanagara Jayabuana. Beliau memiliki dua orang anak, antara lain :
1.  Prabu Linggabumi, kemudian menjadi penerus Kerajaan Galuh.
2.  Dewi Kirana, kemudian menikah dengan Rakeyan Wuwus (raja Sunda ke-8). 

11. Prabu Linggabumi (813 – 852 M)
Prabu Linggabumi merupakan putera dari Welengan sekaligus keturunan Manarah yang terakhir (cicit dari Manarah). Ketika beliau wafat, dia tidak memiliki keturunan untuk meneruskan tahta Galuh. Sehingga tahta Galuh jatuh kepada suami adiknya yang bernama Rakeyan Wuwus (Raja Sunda ke-8).
Dengan peristiwa itu, maka Kerajaan Galuh posisinya berada dibawah kekuasaan Kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Rakeyan Wuwus. Kemudian ketika Rakeyan Wuwus telah memiliki putera yang cukup umur, maka Galuh kembali memiliki raja yang sifatnya hanya sebagai raja daerah.

12. Batara  Danghiyang  Guruwisuda (852 – 916 M)
Beliau merupakan putera sulung dari Rakeyan Wuwus, dan hanya sebagai raja daerah saja. Batara Danghiyang Guruwisuda memiliki seorang puteri yang bernama Dewi Sundara. Puteri ini kemudian menikah dengan Rakeyan Kamuning Gading (raja Sunda), dan akhirnya lahir 2 orang putera, antara lain :
1.  Rakeyan Jayadrata, yang kelak akan menjadi raja Galuh serta membebaskan diri dari Kerajaan Sunda.
2.  Rakeyan Limbur Kancana, kelak akan menjadi raja Sunda.

13. Rakeyan  Jayadrata  (916 – 949 M)
Pada masa kekuasaanya, di Kerajaan Sunda tengah terjadi kudeta yang dilakukan oleh Rakeyan Jayagiri. Kerajaan Galuh yang merupakan kerajaan bawahan dari Sunda, terlebih lagi Rakeyan Jayadrata adalah putera sulung dari Rakeyan Kamuning Gading (raja Sunda yang tergusur posisinya), maka mulai saat itu Galuh tidak mau mengakui kekuasaan dari Rakeyan Jayagiri.
Karena dianggap membangkang, maka Kerajaan Sunda mengerahkan pasukannya untuk menyerang Galuh sebanyak 2 kali serangan. Namun, Rakeyan Jayadrata yang langsung memimpin prajurit Galuh, berhasil menghancurkan serangan itu.
Setelah kejadian penyerangan yang dimenangkan oleh Galuh, maka Kerajaan Galuh memerdekakan diri dari kekuasaan Kerajaan Sunda. Dengan demikian, Kerajaan Galuh tampil kembali menjadi kerajaan yang merdeka dengan batas wilayahnya adalah sebelah timur Citarum barat Jawa. Kebencian Rakeyan Jayadrata terhadap Rakeyan Jayagiri,  terus berlanjut hingga raja Galuh tersebut mengutus adiknya yang bernama Rakeyan Limbur Kancana untuk membunuh Rakeyan Jayagiri.

14. Rakeyan  Harimurti  (949 – 988 M)
Beliau merupakan putera dari Rakeyan Jayadrata, dan menjadi penerus tahta Galuh yang sudah merdeka. Setelah kekuasaan Sunda berada pada Rakeyan Limbur Kancana, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda menjadi damai kembali.

15. Prabu Linggasakti Jayawiguna  (988 – 1012 M)
Ketika beliau wafat, tahta Kerajaan Galuh dikuasai oleh kakak iparnya (Prabu Dewa Sanghiyang / raja Sunda). Sedangkan anaknya dari permaisuri Dewi Rukmawati yang bernama Prabu Resiguru Darmasatyadewa, hanya dinobatkan sebagai raja daerah Galuh sebagai wakil dari kekuasaan Keajaan Sunda di Pakuan.
Dengan demikian, Kerajaan Galuh kembali menjadi kerajaan bawahan Sunda.

16. Prabu Resiguru  Darmasatyadewa  (1012 – 1027 M)
Beliau hanya berkuasa sebagai raja daerah atau wakil dari pemerintahan Kerajaan Sunda di Pakuan.

17. Dewi  Sumbadra  (1027 – 1065 M)
Beliau merupakan adik dari istrinya Prabu Sanghiyang Ageung (raja Sunda ke-19). Jika dilihat dari permaisuri Prabu Sanghiyang Ageung yang berasal dari Kerajaan Sriwijaya, maka kemungkinan besar Dewi Sumbadra pun sama-sama berasal dari kerajaan terbesar di pulau Sumatera itu. Seperti juga raja Galuh sebelumnya, Dewi Sumbadra pun hanya berkuasa sebagai raja daerah atau wakil dari pemerintahan Kerajaan Sunda di Pakuan. Setelah memerintah selama kurang lebih 38 tahun, Dewi Sumbadra digantikan posisinya oleh puteranya yang bernama Prabu Arya Tunggalningrat.

18. Prabu  Arya  Tunggalningrat  (1065 – 1091 M)
Masa kekuasaan beliau seangkatan dengan masa kekuasaan Prabu Langlangbumi (raja Sunda ke-22).
Periode tahun 1091 hingga 1152 tidak diketahui nama Raja Daerah yang menjabat di Galuh.
Pada tahun 1152, kekuasaan Galuh bersatu dengan Kerajaan Galunggung dalam rangka mengimbangi kekuatan Kerajaan Sunda. Pada saat itu Galuh kembali menjadi Kerajaan yang merrdeka, dan diangkat sebagai rajanya adalah seorang ratu penguasa Kerajaan Galunggung yang bernama Dewi Citrawati / Batari Hiyang Janapati.

19. Dewi  Citrawati  (1152 – 1157 M)
Akibat hasil dari perundingan damai antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galunggung, maka beliau berkuasa di 2 kerajaan yang bersatu yaitu Kerajaan Galuh dan Kerajaan Galunggung. Pada masa kekuasaannya, ibukota Galuh dipindahkan ke pusat Kerajaan Galunggung.
Dewi Citrawati mempunyai putera yang bernama Batara Danghiyang Guru Darmawiyasa, puteranya ini kemudian ditugaskan untuk menjabat sebagai raja daerah di Galunggung. Dari  Batara Danghiyang Guru Darmawiyasa ini, Dewi Citrawati mempunyai cucu yang bernama Prabu Darmakusuma, cucunya inilah kemudian menjadi penerus kerajaan Sunda setelah menikah dengan Ratna Wisesa (puteri Prabu Menakluhur / raja Sunda ke-23).        
Setelah Prabu Darmakusuma dinobatkan sebagai raja Sunda pada tahun 1157, maka kekuasaan Galuh dan Galunggung kembali berada di bawah kekuasaan Sunda. Pada tahun 1475, Kerajaan Sunda kembali dipecah menjadi 2 bagian, karena itu Kerajaan Galuh kembali muncul sebagai kerajaan yang berdiri sendiri.

20. Ningrat  Kancana  (1475 – 1482 M)
Sebelum menjadi raja Galuh, pada usia 23 tahun Ningrat Kancana ditunjuk oleh Prabu Anggalarang (ayahnya) sebagai raja daerah di wilayah Galuh. Saat itu, untuk menjalankan pemerintahannya sehari-hari, beliau langsung berada dibawah bimbingan ayahnya.
Pada saat dinobatkan sebagai raja Galuh, beliau diberi gelar Prabu Rahiyang Dewa Niskala. Saat itu, antara Kerajaan Galuh dengan Kerajaan Sunda (yang dipimpin oleh Prabu Susuktunggal)  berada dalam kedudukan sederajat / setingkat.
Beliau memiliki 3 orang istri, tapi tidak diketahui namanya. Dari beberapa pernikahannya itu, lahirlah beberapa orang anak, antara lain :
1.  Pamanahrasa / Jayadewata (anak dari istri pertama) lahir tahun 1401, kelak beliau akan menjadi raja Pajajaran yang paling terkenal dengan sebutan Prabu Siliwangi.
2.  Ningratwangi (anak dari istri pertama)
3.  Banyakcatra / Kamandaka (anak dari istri kedua), kelak menjadi raja daerah (bawahan Galuh) di daerah Pasir Luhur.
4.  Banyakngampar (anak dari istri kedua), kelak menjadi raja daerah (bawahan Galuh) di daerah Dayeuh Luhur.
5.  Ratna Ayu Kirana (anak dari istri kedua)
6.  Kusumalaya / Ajar Kutamangu (anak dari istri kedua)
7.  Surayana (anak dari istri ketiga)
Terjadinya kejatuhan Prabu Kertabumi / Brawijaya V (Raja Majapahit) akibat serangan Demak sekitar tahun 1478, telah mempengaruhi jalan sejarah di barat Jawa. Rombongan pengungsi dari kerabat keraton  Majapahit  akhirnya  ada  juga yang sampai di wilayah Kerajaan Galuh. Salah seorang diantaranya ialah Raden Baribin (saudara seayah Prabu Kertabumi). Ia diterima dengan baik oleh Prabu Dewa Niskala bahkan kemudian dijodohkan dengan putrinya yang bernama  Ratna Ayu Kirana. Disamping itu Dewa Niskala sendiri menikahi salah seorang dari wanita pengungsi yang kebetulan telah bertunangan.
Sejak peristiwa Bubat, kerabat Kerajaan Galuh maupun Kerajaan Sunda ditabukan untuk berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit. Selain itu, menurut "perundang-undangan" waktu itu, seorang wanita yang bertunangan tidak boleh menikah dengan laki-laki lain kecuali bila tunangannya meninggal dunia atau membatalkan pertunangan. Dengan demikian, Dewa Niskala telah melanggar dua peraturan sekaligus dan dianggap berdosa besar sebagai raja.
Kekalutan pun tak terelakkan. Prabu Susuktunggal (Raja Sunda yang juga besan Dewa Niskala setelah puteri Prabu Susuktunggal yang bernama Kentring Manik Mayang Sunda dijodohkan dengan Prabu Jayadewata), mengancam untuk memutuskan hubungan dengan Kerajaan Galuh. Begitu juga dengan anggapan dari Dewa Niskala yang menganggap kakaknya terlalu ikut campur urusan intern Kerajaan Galuh.
Namun, kericuhan dapat dicegah dengan keputusan di tahun 1482, bahwa kedua raja yang berselisih itu bersama-sama mengundurkan diri.  Akhirnya  Prabu  Dewa  Niskala   menyerahkan   tahta Kerajaan Galuh kepada puteranya yang bernama Jayadewata. Demikian pula dengan Prabu Susuktungal yang menyerahkan tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya ini (Jayadewata). Dengan peristiwa yang terjadi itu, kerajaan di tatar Sunda berada dalam satu tangan. Di bawah panji Kerajaan Pajajaran.
Setelah peristiwa penyatuan kekuasaan menjadi satu Kerajaan besar Pajajaran, wilayah priangan timur (bekas kekuasaan Galuh) terbagi menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kemungkinan besar hal ini terjadi akibat terkonsentrasinya kerajaan Pajajaran untuk pengembangan wilayah di barat (Pakuan).

21. Prabu  Ningratwangi
Beliau menjadi raja daerah di bawah kekuasaan besar Pajajaran (yang dipimpin oleh kakaknya / Jayadewata). Prabu Ningratwangi ditugaskan untuk mengurusi wilayah Galuh. Pada saat menjalankan pemerintahannya, beliau dibantu oleh beberapa orang untuk memonitor wilayah barat Jawa bagian timur. Salah satu diantaranya adalah Adipati Arya Kiban yang mengurusi pemerintahan di Palimanan (mencakup wilayah Cirebon).Prabu Ningratwangi memiliki putera yang bernama Prabu Jayaningrat yang kemudian meneruskan tahta Galuh. 

22. Prabu  Jayaningrat
Saat beliau berkuasa, pamor Pajajaran (kerajaan induk dari Galuh) tengah mengalami penurunan. Pajajaran yang dipimpin oleh Prabu Surawisesa terdesak oleh munculnya Kesultanan Cirebon. Keadaan itu dijadikan kesempatan bagi Prabu Jayaningrat, untuk menunjukan kesetiaan Galuh pada  Pajajaran.
Untuk mengembalikan kewibawaan Pajajaran, Prabu Jayaningrat mengirim surat kepada Syarif Hidayatullah (Sultan Cirebon pertama). Surat tersebut berisi agar Cirebon mengirimkan upeti kepada atasannya (Pajajaran), apabila perintah ini tidak dituruti, maka pasukan Galuh akan menggempur Cirebon.
Dikarenakan Cirebon tetap bersikukuh tidak mau memberi upeti, maka ancaman Galuh menjadi kenyataan. Pasukan besar disiapkan langsung dibawah komando Prabu Jayaningrat dibantu oleh sang Patih bernama Adipati Arya Kiban untuk menyerang Cirebon pada tahun 1528.
Di perbatasan Galuh – Cirebon tepatnya di dekat bukit Gundul, Palimanan, serangan pasukan Galuh berhadapan sengit dengan pasukan Cirebon yang diwakili oleh Laskar Kuningan (Kerajaan sekutu bawahan Cirebon) pimpinan Dipati Ewangga. Pasukan Galuh berhasil memukul mundur pasukan Dipati Ewangga.
Adipati Arya Kiban yang saat itu menunggang seekor gajah bernama Si Liman Bango, tidak melanjutkan pengejaran kepada Pasukan Kuningan hingga ke jantung kota Cirebon karena mendengar kabar bahwa di Cirebon telah siap 700 pasukan Demak lengkap dengan senjata api dan meriam. Tetapi kabar tersebut ternyata tidak lengkap, karena sebenarnya pasukan besar Demak (sekutu Cirebon) tersebut telah diberangkatkan untuk menyerang Pajajaran di daerah Banten Girang.
Tetapi selang beberapa waktu, kekhawatiran akan armada besar Demak menjadi kenyataan. Sekitar 700 pasukan bantuan dari Demak   didatangkan untuk menghadang pasukan Galuh. Pasukan Demak dipimpin oleh Fatahillah bergabung dengan pasukan Cirebon yang dipimpin oleh tokoh kharismatik Raden Walangsungsang serta Dipati Ewangga dari Kuningan.
Pertempuran kedua berlangsung lebih sengit, tetapi kali ini kemenangan berada di pihak Cirebon dan Demak. Bantuan pasukan meriam Demak membuat Galuh kewalahan. Laskar Galuh tidak berdaya menghadapi “panah besi besar yang bersuara seperti guntur serta memuntahkan logam panas”. Tombak dan anak panah merekapun lumpuh karena meriam, maka jatuhlah Kerajaan Galuh, sedangkan Prabu Jayaningrat berhasil meloloskan diri ke kerajaan Talaga (sama-sama kerajaan bawahan Pajajaran). Dikisahkan wilayah dan Istana Galuh dibumi hanguskan oleh rakyatnya yang setia karena mereka tidak sudi menjadi bawahan dari Cirebon. Riwayat Prabu Jayaningrat sendiri dikabarkan tewas setelah Cirebon menyerang Talaga.
Menurut sumber lain mengatakan, kekalahan Galuh ini diakibatkan oleh hilangnya benda pusaka Kerajaan Galuh yaitu Sarpa Kandaga yang telah dicuri sebelumnya oleh Nyai Endang Darma (istri Aria Wiralodra, seorang Adipati Cimanuk / Darma Ayu) atas perintah Syarif Hidayatullah (Sultan Cirebon), sehingga membuat Prajurit Galuh kehilangan kepercayaan diri dan merosotnya mental bertempur.


Sumber : Sumber tulisan ini sebagian besar bersumber dari westjavakingdom.blogspot.com dan juga buku Sejarah Jawa Barat karya Drs. Yoseph Iskandar

Sabtu, 23 April 2016

Prasasti Prasasti Peninggalan Kerajaan Tarumanegara

1. Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun (foto:kerajaanindonesia.com)

Ditemukan di aliran sungai Ciaruteun, Kabupaten Bogor. Prasasti tersebut kini telah diangkat dari sungai dan ditemnpatkan di Cibungbulang. Tulisan dari Prasasti Ciaruteun terdiri dari empat baris yang masing masing terdiri dari delapan suku kata, yang tulisannya sebagai berikut: 

Vikkarantasyavanipateh
Crimatah purnnavarmmanah
Tarumanagarendrasya 
Vishnoriva padadavayam

Terjemahan menurut Prof. Vogel sebagai berikut
“Kedua jejak telapak kaki yang seperti jejak kaki wisnu ini kepunyaan penguasa dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman raja Tarumanegara”
Selain tulisanpada Prasasti Ciaruteun terdapat pula gambar sepasang telapak kai maharaja Purnawarman, lukisan yang berbentuk ikal dan sepasang tanda yang mirip gambar laba-laba atau matahari.Ada beberapa prasasti yang ditemukan berada di sekitar Ciaruteun (diperkirakan merupakan wilah Kerajaan Aruteun). Prasasti yang menunjukkan kebesaran raja di suatu wilayah, biasanya menunjukkan wilayah itu merupakan wilayah bawahan. Jadi dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Aruteun yang lebih dulu muncul telah menjadi wilayah jajahan Kerajaan Tarumanegara yang muncul belakangan.

2. Prasasti Kebon kopi
(Sumber Gambar : Yudhe.com)

Ditemukan di lahan perkebunan kopi milik Jonathan Rig tidak jauh dari penemuan prasasti Ciaruteun. Dalam prasasti ini terdapat batu bertulis dengan tanda telapak kaki gajah, berhuruf Palawa dan berbahasa Sansakerta, isi tulisannya sebgai beriut:  

Jayavicalasya tarumendrasya hastinah
Airavatabhasya vibhatidam padadvayam

Terjemahannya sebagai berikut :
“(ini) dua jejak telapak kaki Airawata yang perkasa dan cemerlang, gajah kepunyaan penguasa Taruma yang membawakan kemenangan”.
Prof. Vogel mengartikannya :Airawata-like elephant”, gajah yang menyerupai Airawata, tunggangan Dewa Indra dalammitologi hndu.

3. Prasasti Pasir Jambu
Prasasti Pasir awi (foto:jagosejarah.blogspot.com)

Ditemukan di puncak pasir (bukit) koleangkak, Desa Panyaungan, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Dahulu daerah tersebut merupakan perkebunan jambu sehingga dalam litelatur sejarah dikenal sebagai prasasti Pasir Jambu. Tulisannya hanya berupa dua baris berhuruf palawa berbahasa sansakerta, yang bunyinya sebagai berikut:

Criman data krtajnyo narapatir asamo yah pura tarumayan namma cri purnnavarmma pracuraripucarabedyavikhyatavarmmo
Tasyedam padavimbadvayam arinagarotsadane nityadaksham bhaktanam yandripanam bhavati sukhakaram calyabhutam ripunam

Terjemahannya sebgai berikut :
“ Lukisan dua telapak kaki ini kepunyaan yang termasyur setia dalam tugasnya (yaitu) raja tanpa tandingan yang dahulu memerintah taruma bernama Sri Purnawarman yang baju perisainya tidak dapat ditembus oleh tombak musuh-musuhnya, yang selalu menghancurkan kota (benteng) musuh, yang gemar menghadiahkan makanan dan minuman lezat kepada mereka (yang setia kepadanya) tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya.”
Prasasti Jambu ini hanya mengungkapkan kedigjayaan Maharaja Purnawarman sebagai penguasa termasyur Tarumanegara. Kemungkinan, pembuat prasasti tersebut memuji-muji Purnawarman setelah rajanya yang digjaya itu sudah meninggal dunia.

4. Prasati Cidanghiyang

Prasasti Cidanghiyang ditemukan di aliran sungai Cidangjhiyang, Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang. Selain berhuruf palawa dan berbahasa Sansakerta, pada Prasasti Cidanghiyang terdapat lukisan sepasang telapak kaki.
Tulisan yang ada pada prasasti Cidanghiyang, bacaannya terdiri dari 4 baris, yaitu:
                ­vikrantayam vanipateh
                Pabbhuh satyaparakramah
                Narendraddvajabutena crimatah
                Purnnavarmmanah
Terjemahannya sebagai berikut :
“ (ini tanda) penguasa dunia yang perkasa, prabu yang setia serta penuh kepahlawanan, yang menjadi panji segala raja, yang termasyur Purnawarman.”

5. Prasasti Tugu
Prasasti Tugu (foto:www.teropongsenayan.com)

Prasasti Tugu ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya (Cilincing), Bekasi. Sekarang Prasasti tersebut di simpan di museum di Jakarta. Prasasti tersebut bertuliskan huruf palawa dan berbahasa sansaklerta, yang tulisannya sebagai berikut:

Pura rajadhirajena guruna pinabahuna khata khyata puri prapyaCandrabhagarnnava yayau // pravarddamana dvavica dvatsare crigunaujasa narendradhvajabutenaCrimata purnnavarmmana // prarabhya phalgunemase khata krsna tsami tithau caitracukla trayodacya dinai siddhaika vincakaiAyata shatsahasrena (m) sa catena ca dvavincena nadi ramya gomati nirmalodaka // pitamahasya rajashervvidarya cibiravaniBrahmanair ggosahasrena prayati krtadakshhino

Terjemahannya sebagai berikut :
“ dahulu sungai chandrabaga digali oleh rajadirajaguru yang berlengan kuat (besar kekuasaanya), setelah mencapai kota yang masyur, mengalirlah kelaut. Dalam tahun ke-22, pemerintahannya semakin sejahtera, panji segala raja, yang termasyur Purnawarman, telah menggali saluran sungai Gomati yang indah, murni airnnya, mulai tanggal 8 bagian gelap bulan Palguna dan selesai dalam 20 hari. Panjangnya 6122 busur mengalir ke tengah-tengah tempat kakeknya, sang Rajaresi. Setelah selesai dihadiahkan 1000 ekor sapikepada prabrahmana.”

6. Prasasti Pasir Awi
(sumber gambar : jagosejarah.blogspot.com)

Prasasti Pasir Awi ditemukan pertama kali oleh N.W. Hoepermans pada tahun 1864 di lereng Selatan Pasir Awi (559 m) di kawasan perbukitan Cipamingkis, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor. Prasasti Pasir Awi berisi pahatan gambar dahan dengan ranting dan dedaunan, serta buah-buahan (bukan aksara) juga berpahatkan gambar sepasang telapak kaki.

7.  Prasasti Muara Cianten
(foto : anangpaser.wordpress.com)

Prasasti Muara Cianten ditemukan di tepi Sungai Cisadane dekat Muara Cianten yang dahulu dikenal dengan sebutan Prasasti Pasir Muara kerana memang masuk ke wilayah Kampung Pasir Muara. Dalam prasasti ini terdapat pahatan sulur-suluran (pilin) atau ikal yang keluar dari umbi.

Sumber tulisan : Buku Sejarah Jawa Barat (juganing rajakawasa) karya Drs. Yoseph Iskandar. Sumber Lainnya : www.yudhe.com, Wikipedia.org, westjavakingdom.com


Kerajaan Medang Jati

Tahun Berdiri : 597 M
Masa : 597-612 M
Pusat Kerajaan : Sumedang
Nama Lain : Kerajaan Medang Gana
Raja Pertama : Maharajaresi Kandiawan
Raja Terkenal : -
Jumlah Raja : 1
Agama Kerajaan : Hindu
Agama seluruh Masyarakat : Hindu, Budha, hyang
Diteruskan Oleh : Kerajaan Galuh

Kerajaan ini disebut juga Kerajaan Medang Gana. Lokasinya terletak di daerah segitiga Bandung – Sumedang – Ciamis (sekarang), yang pada abad ke 17 dikenal dengan nama Medang Sasigar dan kemudian menjadi nama Sumedang.
Seperti halnya Kendan, kerajaan ini juga bersifat keagamaan. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang Rajaresi, yaitu jabatan raja yang selain menangani masalah pemerintahan, juga menangani masalah keagamaan.
Berikut ini merupakan raja yang berkuasa di kerajaan Medang Jati :
Maharajaresi Kandiawan (597 – 612)
Maharajaresi Kandiawan adalah putra dari Rajatapura Suraliman Sakti, raja ke-2 Kerajaan Kendan, dan merupakan cucu dari Resiguru Manikmaya (pendiri Kerajaan Kendan) serta cicit dari Maharaja Suryawarman (Raja Tarumanegara ke-7). Setelah menjadi penguasa Medang Jati, beliau dinobatkan dengan gelar Rajaresi Dewaraja. Sebutan lainnya untuk Kandiawan adalah Rahiyangta ri Medangjati.
Kandiawan merupakan seorang ahli  yang membuat, mengajarkan, dan melaksanakan Sanghiyang Watangageung. Dimana, Sanghiyang Watangageung tersebut diyakini sebagai Undang-undang pemerintahan pertama di tanah Sunda yang merupakan himpunan peraturan yang mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat, juga mencakup pengaturan kehidupan beragama, antara lain tentang kehidupan para wiku (ulama / cendekiawan)
Dari pengembangan Sanghiyang Watangageung, lahirlah Sanghiyang Siksa Kanda ng Karesian dan Séwaka Darma, yang kelak kemudian menjadi sumber hukum Kerajaan Pajajaran.
Kandiawan memiliki 5 orang putra, antara lain :
1.  Mangukuhan, penguasa daerah Kuli-Kuli.
2.  Karungkalah, penguasa daerah Surawulan.
3.  Katungmaralah, penguasa daerah Peles Awi.
4.  Sandangreba, penguasa daerah Rawung Langit.
5.  Wretikandayun, penguasa daerah sekaligus rajaresi di daerah Menir.
Kandiawan mengundurkan diri sebagai raja, dan kemudian menjadi petapa di Layungwatang (daerah Kuningan). Sebagai pengganti kekuasaannya, beliau menunjuk Wretikandayun (putera bungsunya).

Raja yang berasal dari putera bungsu, merupakan suatu kejanggalan untuk tradisi di saat itu (biasanya putera sulung dipilih menjadi penerus tahta). Namun, Kandiawan telah mempertimbangkan matang-matang keputusan itu. Pemilihan itu berdasarkan sikap yang dimiliki Wretikandayun yang dianggap lebih baik daripada keempat kakaknya. Wretikandayun yang menjabat sebagai rajaresi di Menir, dilihat  oleh ayahnya sebagai orang yang tidak terlalu mementingkan urusan duniawi. Jabatan rangkap (raja dan rajaresi), telah merupakan tradisi di keluarga tersebut sejak masa periode pemerintahan buyutnya di Kendan (Resiguru Manikmaya).
Setelah Wretikandayun naik tahta, pusat kerajaannya berpindah ke ibu kota baru yang dinamakan Galuh. Mulai periode ini, nama Kerajaan Medang Jati telah berubah menjadi Kerajaan Galuh.


Sumber : Buku Sejarah Jawa Barat (Juganing Raja Kawasa karya Drs. Yoseph Iskandar), westjavakingdom.blogspot.com

Kerajaan Kendan

Tahun Berdiri : 536 M
Masa : 536-597 M
Pusat Kerajaan : Nagreg, Bandung
Nama Lain : Kerajaan Kelang
Raja Pertama : Maharaja Manikmaya
Raja Terkenal : -
Jumlah Raja : 2
Agama Kerajaan : Hindu
Agama Seluruh Masyarakat : Hindu, Budha, hyang
Diteruskan Oleh : Kerajaan Medang Jati (disekitar Sumedang)

Pilar-pilar Kendan (foto:makan11.blogspot.co.id)
Kerajaan Kendan merupakan sebuah kerajaan kecil yang bersifat keagamaan. Nama Kendan diambil dari nama sebuah bukit berjarak sekitar 500 meter dari stasiun Nagreg, sebelah tenggara Cicalengka sekarang.  Pada kaki bukit tersebut, terdapat sebuah kampung bernama Kendan (wilayah Desa Citaman, Kecamatan Cicalengka sekarang). Di daerah itulah lokasi kerajaan ini berdiri.
Kerajaan ini dianugerahkan sebagai hadiah pernikahan putri Maharaja Suryawarman yang bernama Putri Tirtakancana dengan seorang resi bernama Resi Manikmaya. Diberikan lengkap dengan para prajuritnya. Sejak saat itu kerajaan ini berada pada perlindungan Maharaja Suryawarman bukan sebagai kerajaan yang berada didalam bawahan Kerajaan Tarumanegra tetapi satu kerajaan yang sangat dihormati bahkan dilindungi oleh raja-raja pada saat itu.

Raja-raja Kerajaan Kendan
 
1.     Resiguru  Manikmaya  (536 – 568 M)
Resiguru ini berasal dari keluarga Kerajaan Calankayana (India). Sebelum tiba di daerah Kendan, tokoh ini sempat mengunjungi beberapa daerah, seperti Gaudi (Benggala), Mahasin (Singapura), Sumatera, Nusa Sapi (Pulau Bali), Syangka, Yawana, Cina, Jawa bagian timur, dan lain-lain.
Ketika tiba di wilayah barat Jawa, Resiguru Manikmaya menikah dengan Dewi Tirtakancana (putri dari Suryawarman / raja Tarumanagara ke-7). Dari ikatan pernikahan tersebut, Suryawarman menghadiahkan kepada menantunya (Resiguru Manikmaya) berupa daerah yang bernama Kendan lengkap beserta rakyat, prajurit, perlengkapan kerajaan, dan mahkota raja.
Akhirnya, berdirilah sebuah kerajaan baru dibawah pimpinan Resiguru Manikmaya. Kehadiran kerajaan ini langsung disebar luaskan oleh Suryawarman kepada seluruh raja-raja daerah kekuasaan Tarumanagara melalui surat. Isi dari surat tersebut intinya adalah menegaskan kepada semua pihak untuk menerima Resiguru Manikmaya sebagai penguasa di Kendan, dan apabila menolak maka Tarumanagara akan memberikan hukuman mati dan kerajaan yang menolak tersebut akan dihapuskan.

Perlakuan istimewa dari Tarumanagara tersebut, dikarenakan selain Resiguru Manikaya adalah menantu Suryawarman, beliau juga merupakan seorang brahmana yang ulung serta telah banyak berjasa terhadap agama.Resiguru Manikmaya memiliki beberapa orang anak, salah satunya bernama Rajaputra Suraliman Sakti, yang kelak akan meneruskan tahta ayahnya sebagai penguasa Kendan.

2.      Rajaputra  Suraliman  Sakti  (568 – 597 M)
Sebelum menjadi raja di Kendan, Rajaputra tinggal di Ibukota Tarumanagara bersama kakeknya (Suryawarman). Pada saat usianya menginjak 20 tahun, Rajaputra Suraliman mulai menampakkan ketampanan dan kemahiran dalam ilmu berperang. Karena kemampuannya itulah, kemudian beliau diangkat menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara.
Ketika ayahnya wafat, maka Rajaputra Suraliman segera meninggalkan Tarumanaga dan dinobatkan menjadi raja baru di Kendan. Penobatan ini berlangsung pada tanggal 5 Oktober 568. Setelah menjadi raja Kendan, penguasaannya terhadap ilmu perang masih terlihat, karena itulah ia selalu unggul dalam berperang.
Beliau menikah dengan seorang puteri dari Kutai yang bernama Dewi Mutyasari (keturunan Kudungga). Dari pernikahannya, Rajaputra Suraliman dikaruniai 2 orang anak, mereka adalah :
1.  Kandiawan (Rajaresi Dewaraja / Layuwatang), kemudian  menjadi penerus tahta Kerajaan Kendan.
2.  Kandiawati, putri ini kemudian menikah dengan saudagar dari Sumatera dan tinggal disana.
Setelah Rajaputra Suraliman turun tahta, maka Kerajaan Kendan diserahkan pada Kandiawan (putra sulungnya) yang sebelumnya telah menjabat sebagai raja daerah di wilayah Medang Jati.
Sementara itu Kandiawan memindahkan pusat kerajaannya ke Medang Jati, maka mulai pada periode ini Kerajaan Kendan lebih dikenal sebagai Kerajaan Medang Jati, sedangkan wilayah Kendan sendiri hanya dipakai sebagai pusat keagamaan / pertapaan.

Peninggalan
Arca Durga peninggalan Kerajaan Kendan (foto:makan11.blogspot.co.id)


Peninggalan dari Kerajaan Kendan adalah sebuah patung Durga (patung bagi penganut agama Hindu Siwa), patung ini pertama kali ditemukan di sekitar daerah yang diperkirakan sebagai tempat pemujaan di jaman itu (200 meter dari sebelah utara stasiun Nagreg). Kini keberadaan patung itu disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Mahkota Kerajaan Kelang (foto:Bandungmozaik.com)

Selain patung Durga peninggalan Kerajaan Kendan yang baru-baru ini ditemukan adalah mahkota Kerajaan Kendan. Mahkota ini ditemukan tak jauh dari temuan patung Durga, tepatnya di Kampung Kendan, Desa Citaman, Kecamatan Nagreg. Mahkota ini terbuat dari bahan logam kasar, dan ditemukan dalam sebuah kotak atau peti yang telah terkubur dalam tanah lebih dari 1400 tahun yang lalu. Kini mahkota Kendan disimpan di salah satu rumah penduduk sebagai benda pusaka yang tetap dijaga dan dilestarikan.

Sumber Tulisan : westjavakingdom.blogspot.com, Bandungkabmozaik.com, makan11.blogspot.co.id, sasadaramk.blogspot.co.id
Serta dari berbagai sumber lainnya

Kerajaan Tarumanegara

Tahun Berdiri : 358 M
Masa : 358-669 M
Pusat Kerajaan : Sekitar Bogor dan Bekasi
Raja Pertama : Maharaja Jayasinghawarman
Raja Terkenal : Maharaja Purnawarman (Raja ke-3)
Jumlah Raja : 12
Agama Kerajaan : Hindu
Agama seluruh Masyarakat : Hindu, Budha, hyang, Animisme, Dinamisme, Abraham, Islam (pada sekitar 620 M oleh pangeran sancang)
Diteruskan Oleh : Kerajaan Sunda
 
Peta wilayah kekuasaan Tarumanagara (Foto:wikipedia)
Kerajaan Tarumanegara merupakan sebuah kerajaan bercorak hindu-budha yang berpusat di sekitar Bekasi dan Bogor, Jawa Barat. Kerajaan Tarumanegara merupakan kerajaan terbesar yang pernah bedriri di Tatar Pasundan atau Jawa Barat dengan wilayah kekuasaan meliputi Seluruh Jawa Bagian Barat (Sekarang menjadi Prov. Jawa Barat, Banten dan DKI Jakrta) ditambah bagian barat Jawa Tengah dan Sumatera bagian Selatan. Bahkan menurut beberapa sumber, wilayah Tarumanegara sampai ke Pulau Bali. Kerajaan ini didirikan oleh Maharajaresi Jayasinghawarman, seorang pengungsi dari calankayana, India pada tahun 358Masehi.

Raja-raja Kerajaan Tarumanegara 

1. Maharajaresi Jayasinghawarman (358 – 382 M)
Merupakan pendiri kerajaan Tarumanagara. Beliau menikah dengan Iswari Tunggal Pertiwi Warmandewi / Dewi Minawati (Putri Dewawarman VIII). Dari pernikahan ini, maka selain dia menjabat sebagai raja di Tarumanagara, beliau juga termasuk menantu raja Salakanagara tersebut. Putra sulungnya yang bernama Dharmayawarman kelak menggantikan posisinya sebagai raja Tarumanagara. Rajadiraja Guru Jayasingawarman wafat dalam usia 60 tahun dan dipusarakan di tepi Sungai Gomati (Bekasi).

2. Maharaja Darmayawarman  (382 –395 M)
Beliau memiliki gelar Rajaresi Darmayawarman-guru. Gelar tesebut diperoleh karena selain menjadi raja, beliau juga merangkap tugas sebagai pimpinan dari semua guru agama.
Saat itu penduduk Tarumanagara masih banyak yang menganut keperjayaan pemujaan terhadap roh leluhur sebagai warisan dari nenek moyang mereka. Dharmayawarman, saati itu giat untuk mengajarkan agama Hindu kepada penduduknya, bahkan beliau mendatangkan beberapa brahmana dari India. Tetapi kebanyakan penduduk tetap setia pada kepercayaannya.
Di masa kekuasaannya, tingkatan penduduk dibagi dalam 4 kasta, yaitu brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Selain itu, penduduk juga digolongkan kedalam 3 golongan yaitu nista, madya, dan utama.
Beliau mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan memilih hidup sebagai pertapa (manurajasunya) atau bertapa setelah turun tahta sambil menunggu ajal tiba. Setelah wafat ia dipusarakan di tepi Sungai Candrabagha.

3. Maharaja Purnawarman  (395 – 434 M)
Merupakan Raja Tarumanagara yang paling terkenal. Beliau dilahirkan pada tanggal 16 Maret 372 dari pasangan Dharmayawarman dengan permaisurinya. MaharajaPurnawarman mulai memegang tampuk kekuasaan Tarumanagara pada tanggal 12 Maret 395 atau dua tahun sebelum ayahnya wafat. Mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah.
Raja ini yang dipercaya oleh berbagai kalangan pada saat itu sebagai penjelmaan dari Dewa Wisnu, merupakan penganut agama Hindu aliran Waisnawa. Sedangkan mayoritas penduduk di saat itu adalah memuja roh leluhur. Bentuk agama dan kepercayaan lainnya yang dianut penduduk Tarumanagara  adalah  memuja Batara Sangkara (Siwa),  Brahma, dan agama Budha (penganutnya paling sedikit).
Purnawarman menyusun bermacam-macam pustaka yang berisi tentang undang-undang kerajaan, peraturan angkatan perang, siasat perang, keadaan daerah-daerah di barat Jawa, silsilah dinasti Warman, dan kumpulan maklumat kerajaan. Dari pustaka-pustaka yang disusun itulah tak heran apabila Tarumanagara saat itu telah memiliki sistem pemerintahan yang baik dan teratur.
Saat Purnawarman memasuki tahun kedua dari masa kekuasaannya, beliau memindahkan ibukota kerajaan ke sebelah utara ibukota lama (Jayasingapura). Ibukota baru tersebut diberi nama Sundapura yang didirikan di tepi Sungai Gomati. Nama Sundapura tersebut mulai digunakan oleh Purnawarman pada tahun 397. Sundapura mengandung arti Kota Suci atau Kota Murni yang diambil dari bahasa Sansekerta yakni sudha atau sunddha yang berarti bersinar, terang, putih, bersih, jernih, murni.
Saat Purnawarman memasuki tahun ketiga dari masa kekuasaannya, beliau mendirikan pelabuhan pantai yang dibuat mulai tanggal 15 Desember 398 sampai tanggal 11 November 399. Pelabuhan ini dijadikan pangkalan perang laut dari Kerajaan Tarumanagara. Setiap kapal perang kerajaan ini mengibarkan bendera yang bergambarkan naga (nagadhwajarupa).
Purnawarman memiliki gajah perang yang diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Dewa Indra (dalam mitologi Hindu).  Karena itulah, sebelum beliau bertempur selalu didahului oleh prosesi pemujaan terhadap Dewa Indra untuk “meminta” kekuatan saat berada di tengah pertempuran. Purnawarman yang selalu unggul dalam setiap peperangan itu kemudian dijuluki oleh lawan-lawannya sebagai Wyaghra Ning Tarumanagara atau Harimau Tarumanagara. Julukan lain yang melekat pada dirinya yang berkaitan dengan keberanian dan penguasaan ilmu pertempuran adalah bhimaparakramoraja (raja yang dahsyat dan perkasa), Sang Purandara Saktipurusa (manusia sakti penghancur benteng).
Baju perisai yang dikenakan Purnawarman tidak pernah tembus oleh tombak musuh-musuhnya (baju zirah miliknya itu dianggap sama dengan baju zirah milik Dewa Surya). Baju pelindung tersebut terbuat dari besi dan melindunginya dari mulai kepala sampai kaki. Selain itu, keberanian Purnawarman yang selalu dapat menghancurkan benteng kota dari musuh-musuhnya dianggap sama dengan sifat Dewa Indra.
Purnawarman berhasil menundukkan musuh-musuhnya untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Wilayah Tarumanagara akhirnya meluas hingga mencakup  pantai Selat Sunda. Di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat sekitar 47 Kerajaan daerah  yang membentang dari Rajataputra (ibukota Salakanagara) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbolinggo) di Jawa Tengah. Kemenangan demi kemenangan dari Tarumanagara saat melakukan perluasan wilayah ini tak lepas dari angkatan perang baik darat maupun laut yang begitu banyak, kuat serta lengkap persenjataannya. Adiknya yang bernama Cakrawarman ditugasi sebagai Mahamantri dan Panglima Perang, sedangkan pamannya yang bernama Nagawarman diberi jabatan sebagi Panglima Angkatan Laut (Senapati Sarwajala).
Saat itu, Tarumanagara giat mengadakan hubungan diplomatik dengan Semenanjung, negeri Syangka, Yawana, Cambay (India), Sopala, Kutai, Cina, Sumatera, dan lain-lain. Hubungan diplomatik tersebut biasanya diwakili oleh Nagawarman. Bentuk persahabatan antara Tarumanagara dengan Kutai adalah dengan menempatkan masing-masing Duta kerajaannya di ibu kota negeri sahabat.  Hubungan kedua kerajaan tersebut semakin erat setelah Purnawarman menikah dengan seorang putri dari raja daerah di Kutai.
Tarumanagara dalam kekuasaan Purnawarman sudah berubah menjadi kerjaan besar di pulau Jawa, dimana tiap bulan Maret / April setiap tahunnya selalu saja ada raja daerah yang mengirimkan upeti ke ibukota Sundapura. (penjelasan mengenai kerajaan daerah tersebut, lihat kerajaan-Kerajaan Bawahan Tarumanagara).
Meskipun kejam terhadap musuh-musuhnya yang tak mau tunduk pada kekuasaan Tarumanagara, tetapi Purnawarman begitu menghormati kepada raja-raja daerah yang berbakti padanya. Contohnya, saat para raja daerah mengirimkan upeti ke Sundapura, 2 hari sesudahnya, Purnawarman selalu membuat pesta untuk para tamu tersebut sambil menghidangkan makanan dan minuman yang lezat selama 3 hari berturut-turut, tidak ketinggalan juga pesta itu dimeriahkan oleh tarian dari gadis-gadis cantik.
Saat kepemimpinannya, beliau selalu memperhatikan kemakmuran rakyatnya, selain itu juga beliau sangat memperhatikan pemeliharaan aliran sungai. Pada tahun 410, Purnawarman memprakarsai perbaikan aliran sungai Gangga (diperdalam dan diperindah bagian tanggulnya) yang dikerjakan oleh ribuan orang secara karyabhakti. Sungai Gangga ini berada di daerah Cirebon yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kerajaan Indraprahasta (kerajaan bawahan dari Tarumanagara). Setelah selesai diperbaiki, Purnawarman mengadakan selamatan dan memberikan hadiah kepada para brahmana dan ribuan orang yang telah membantu dalam penyelesaian proyek itu. Beliau juga menghadiahkan 500 ekor sapi, pakaian, 20 ekor kuda, 1 ekor gajah, dan perjamuan makan yang lezat untuk raja Indraprahasta selaku penguasa setempat.
Pada tahun 412, Purnawarman memperkokoh parit dan memperindah alur Sungai Cupu yang terletak di Kerajaan Cupunagara (masih kerajaan bawahan Tarumanagara). Sungai tersebut mengalir sampai di istana kerajaan. Proyek ini dikerjakan sekitar bulan Juli / Agustus tahun tersebut dan hanya memakan waktu selama 14 hari. Pada saat upacara selamatan tanda selesainya proyek ini, Purnawarman menghadiahkan 400 ekor sapi, pakaian, dan makanan lezat kepada para pegawai proyek saluran air ini.
Baik di tepi sungai Gangga maupun sungai Cupu, Purnawarman membuat prasasti yang ditulis pada batu sebagai ciri telah selesainya pekerjaan. Prasasti tersebut ditandai dengan lukisan telapak tangan dan ditorehkan kata-kata yang memuji dirinya tentang kebesaran, dan sifat-sifatnya yang diibaratkan sebagai Dewa Wisnu yang melindungi segenap mahluk di bumi dan di akhir kelak.
Pada tahun 413, Purnawarman memperkokoh parit dan memperindah aliran Sungai Sarasah / Manukrawa yang terletak di Kerajaan Manukrawa (kerajaan bawahan Tarumanagara). Proyek ini dikerjakan selama kurang lebih 2 bulan, antara Oktober/November sampai Desember/Januari. Pada saat upacara selamatan tanda selesainya proyek ini, Purnawarman berhalangan hadir dan mengutus Mahamantri Cakrawarman sebagai perwakilan. Sang Mahamantri bersama pembesar kerajaan lainnya ikut hadir dalam upacara tersebut dengan mengendarai perahu besar, dan kali ini Purnawarman menghadiahkan 400 ekor sapi, 80 ekor kerbau, pakaian bagi para brahmana, 10 ekor kuda, 1 buah bendera Tarumanagara, 1 buah patung Wisnu, dan bahan makanan.
Pada tahun 417, Purnawarman memperkokoh dan memperindah alur Sungai Gomati dan Candrabagha (sungai Candrabagha dahulu pernah diperindah juga oleh Jayasingawarman). Proyek ini dikerjakan secara karyabhakti oleh ribuan orang yang bekerja secara berbaris memanjang di setiap tepian sungai. Pada saat upacara selamatan, Purnawarman memberikan hadiah bagi para brahmana berupa 1000 ekor sapi, pakaian, dan makanan lezat. Sedangkan hadiah bagi para pemuka daerah yaitu perhiasan emas dan perak, kuda, dan banyak lagi. Di tempat itu juga Purnawarman membuat prasasti sebagai tanda akhir penyelesaian proyek.
Pada bulan Mei/Juni sampai bulan Juni/Juli tahun 419, Purnawarman memperbaiki, memperteguh alur, dan memperdalam sungai Citarum (sungai terbesar yang ada di wilayah Tarumanagara). Seperti proyek yang sudah-sudah, akhir pelaksanaan dari pekerjaan ini digelar upacara dimana Purnawarman dengan baik hati memberikan hadiah berupa 800 ekor sapi, 20 ekor kerbau, pakaian, makanan lezat, dan hadiah lainnya. Upacara ini juga ditandai dengan pemberian berkat dari para brahmana  untuk sang raja.
Dengan diperbaharuinya aliran-aliran sungai tersebut, maka manfaat dari sungai semakin terasa. Kini aliran sungai dapat digunakan sebagai sumber irigasi yang dapat membantu sektor pertanian dan juga jalur perdagangan di tepian sungai  semakin ramai. Kekeringan pun tidak pernah melanda di seluruh penjuru negeri Tarumanagara meskipun dalam kondisi kemarau. Kepemimpinan Purnawarman yang begitu gemilang membuat penduduk semakin kagum dan menaruh hormat kepada sang raja.
Di tempat-tempat pemujaan yang telah selesai dibangun, selalu dilukiskan bendera Tarumanagara dan jasa-jasa yang telah diperbuat oleh Purnawarman. Bendera Kerajaan Tarumanagara pada saat itu berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah Airwata. Sedangkan materai kerajaan (rajatanda) berupa lempengan (daun) emas berbentuk brahmara (lebah atau kumbang).
Setelah Purnawarman membawa Tarumanagara ke dalam masa keemasan, beliau dinobatkan sebagai Maharaja dengan gelar Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaparakrama Suryamahapurusa Jagatpati.
Dari isterinya yang berasal dari negeri Kutai, Maharaja Purnawarman memiliki beberapa orang putera puteri. Anak sulungnya yang bernama Wisnuwarman akhirnya menjadi penerus Kerajaan Tarumanagara, sedangkan seorang puterinya menikah dengan raja di pulau Sumatera yang kelak menurunkan keturunan bernama Srijayanasa (pendiri Kerajaan Sriwijaya).
Maharaja Purnawarman wafat pada tanggal 24 November 434, dalam usia 62 tahun. Beliau dipusarakan di tepi sungai Citarum.
Peninggalan berupa prasasti dari Maharaja Purnawarman yang kini berhasil ditemukan antara lain  Prasasti  Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Pasir Jambu, Prasasti Cidangiang, Prasasti Pasir Awi, Prasasti Tugu. Semua prasasti peninggalannya biasanya berupa batu tulis yang berada pada tepian sungai di beberapa daerah.

4. Maharaja Wisnuwarman  (434 – 455 M)
Wisnuwarman dinobatkan menjadi raja, 9 hari setelah ayahnya wafat. Penobatan dilaksanakan pada tanggal 3 Desember 434, dengan gelar nobat Sri Maharaja Wisnuwarman Digwijaya Tunggal Jagatpati. Perayaan penggantian raja baru ini dilaksanakan tiga hari tiga malam.
Berbeda dengan ayahnya yang sangat tempramental, Wisnuwarman memiliki sifat lebih penyabar dan tidak lekas marah. Meskipun demikian, sifat pemberani dan ahli bertempur warisan sang ayah tetap dimilikinya.
Setelah dinobatkan menjadi raja, Wisnuwarman mengirimkan duta kerajaannya untuk memberitahukan kepada raja-raja sahabat seperti Cina, India, Syangka, Campa, Yawana, Sumatera, Kutai, Sri Lanka, Darmanagari, dan yang lainnya. Utusannya tersebut dititipi pesan pemberitahuan kepada mereka bahwa Wisnuwarman telah menjadi penguasa Tarumanagara dan mempererat serta melanjutkan tali persahabatan.
Pada tahun ketiga masa pemerintahannya, Wisnuwarman bersama para pembesar Tarumanagara lainnya serta didampingi oleh para pendeta melakukan mandi suci (matirta) di Sungai Gangga (wilayah kerajaan Indraprahasta).  Mandi suci tersebut dilaksanakan secara khusus atas anjuran para brahmana karena di tahun tersebut , Tarumanagara sering mendapat musibah bencana alam (gempa bumi) dan gerhana bulan. Tanda-tanda alam tersebut diyakini oleh para brahmana sebagai pertanda buruk yang akan membawa bencana bagi Tarumanagara. Upacara mandi suci itu diakhiri dengan pemujaan bagi Batara Wisnu dan Siwa dalam tempat pemujaan di sekitar sungai Gangga.
Suatu ketika, Wisnuwarman hampir saja akan terbunuh saat beliau berburu dalam hutan. Percobaan pembunuhan itu dilakukan oleh 4 orang yang tidak dikenal. Tetapi untung saja pasukan Bhayangkara (pasukan pengawal raja) dapat membunuh para pembunuh bayaran itu.
Meskipun kepemimpinan dari Wisnuwarman ini cukup baik, akan tetapi ada seseorang yang bernafsu untuk menghabisi nyawa Wisnuwarman. Rencana pembunuhan kedua terjadi beberapa bulan setelah usaha pembunuhan pertama dapat digagalkan. Kali ini “sang dalang” lebih nekad melakukan aksinya. Seorang pembunuh bayaran diutus untuk menyelinap ke dalam keraton, dan melakukan pengintaian beberapa hari. Setelah menemukan waktu yang tepat, pembunuh itu masuk ke kamar tidur raja dengan membawa beberapa senjata di malam saat Wisnuwarman dan permaisurinya yang bernama Suklawarmandewi sedang tertidur lelap. Bodohnya, pembunuh bayaran itu malah gemetar karena terpesona melihat kecantikan sang permaisuri yang sedang tertidur tanpa busana. Dalam keadaan gemetar, tanpa disadari pedang yang digenggamnya terjatuh dan membangunkan sang raja. Kemudian Wisnuwarman tanpa basa-basi langsung melumpuhkan pembunuh tolol itu dengan ilmu bela diri yang dimilikinya.
Beberapa hari kemudian, pembunuh tersebut disidangkan dihadapan raja dan pembesar keraton lainnya. Wisnuwarman yang langsung memimpin persidangan dengan penuh kesabaran mengorek keterangan dari pembunuh tersebut. Tanpa disangka, ternyata dalang dari semua usaha pembunuhan ini adalah pamannya sendiri yang bernama Cakrawarman (Mahamantri dan Panglima Perang Tarumanagara). Dari informasi pembunuh itu, diketahui bahwa Cakrawarman ingin merebut tahta kerajaan dengan cara menghabisi seluruh keturunan Wisnuwarman. Semua yang hadir di persidangan merasa terkejut mendengar laporan itu, karena selama ini mereka sangat menghomati Cakrawarman yang sangat besar jasanya selama mengemban tugas kerajaan. Bahkan Cakrawarman  pernah menjadi kaki tangan (orang ke-2 di Tarumanagara) di masa pemerintahan Maharaja Purnawarman.
Sementara itu, sebelum persidangan dimulai, Cakrawarman bersama pengikutnya telah melarikan diri menuju daerah Wanagiri. Tindakan ini diambil, karena Cakrawarman telah menduga bahwa pembunuh utusannya itu akan membeberkan rencana jahatnya di dalam persidangan.
Meskipun usahanya selalu gagal, Cakrawarman tetap berambisi untuk menjadi penguasa Tarumanagara. Di Wanagiri, ia bersama komplotannya melakukan huru-hara ke daerah-daerah sekitarnya untuk mengganggu stabislitas keamanan serta menjatuhkan wibawa Wisnuwarman di mata penduduk.
Usaha kudeta Wisnuwarman ini didukung pula oleh 2 menteri Tarumanagara, 2 menteri dari kerajaan Agrabinta dan Purwanagara, Tumenggung dari daerah Purwalingga, Panglima dari Kerajaan Sabara, putra mahkota dari Kerajaan Gunung Kidul, dan seorang ksatria dari kerajaan Nusa Sabay.
Parahnya lagi, beberapa Panglima tinggi Tarumanagara yang seharusnya sebagai tunggul kerajaan ikut pula mendukung Cakrawarman dalam usaha perebutan kekuasaan ini. Para panglima tinggi itu antara lain Panglima Angkatan Perang, Panglima Angkatan Darat (wadya padati), Wakil Panglima Angkatan Laut, dan Kepala Bhayangkara.
Dengan dukungan penuh (termasuk prajurit) dari gabungan kekuatan-kekuatan tersebut, maka komplotan Cakrawarman berhasil menguasai separuh daerah di barat Jawa.
Atas desakan dari rakyat di beberapa daerah yang selama ini menjadi korban kekerasan komplotan Cakrawarman, akhirnya Wisnuwarman segera menyiapkan pasukan inti Tarumanagara (yang masih setia) untuk membasmi para pemberontak itu. Sementara itu, Wisnuwarman juga mengirim beberapa utusan ke beberapa daerah untuk segera menyiapkan bala bantuan. Beberapa kerajaan daerah (bawahan Tarumanagara) yang masih setia akhirnya bersedia membantu dengan mendatangkan pasukannya dan bergabung dengan Tarumanagara. Kerajaan-kerajaan daerah itu antara lain Ujung Kulon, Sabara, Salakanagara, Agrabinta dan Legon.
Terjadilah pertempuran antara pasukan Wisnuwarman dan Cakrawarman, setelah melakukan pertempuran yang sengit, pasukan Tarumanagara dan sekutunya berhasil menguasai Wanagiri. Tetapi,  Cakrawarman bersama pasukannya yang sudah terdesak berhasil melarikan diri ke sebelah timur dan menyebrangi sungai Citarum sebelum akhirnya mendirikan markas sementara di hutan yang berada di wilayah Kerajaan Cupunagara. Cakrawarman memilih wilayah ini karena dia merupakan menantu dari Prabu Satyaguna (raja Cupunagara). Di wilayah ini, Cakrawarman memohon izin kepada mertuanya untuk mendirikan “kerajaan tandingan” bagi Tarumangara. Tetapi Prabu Satyaguna tidak mau mengambil resiko menjadi sekutu dari pemberontak ini, meskipun sang pemberontak adalah menantunya sendiri. Raja Cupunagara ini hanya mau membantu memberikan perbekalan dan senjata dengan syarat Cakrawarman harus segera meninggalkan wilayah kerajaannya.
Setelah kepentingannya tidak mendapat restu pihak Cupunagara, maka Cakrawarman dan pasukannya melanjutkan perjalanan ke arah tenggara dan mendirikan markas baru di Girinata (hutan bagian selatan wilayah Kerajaan Indraprahasta, di dekat situ terdapat sungai Cimanuk).
Prabu Wiryabanyu (raja Indraprahasta) mendapat informasi dari Tarumanagara bahwa wilayahnya telah dijadikan sarang pemberontak, dan dengan segera ia menyiapkan armada perangnya yang terkenal tangguh untuk mengepung persembunyian Cakrawarman dari arah timur. Pasukan tambahan yang datang dari Kerajaan Sindang Jero, Kerajaan Wanagiri, dan Kerajaan Manukrawa semakin memberikan kekuatan bagi pasukan sekutu dari Tarumanagara ini.  Melalui siasat perang dari Prabu Wiryabanyu, akhirnya pasukan dibagi dua kelompok. Kelompok pertama dipimpin langsung oleh Prabu Wiryabanyu melalui jalan darat, sedangkan kelompok kedua dipimpin oleh Panglima Angkatan Laut Indraprahasta dengan menyusuri sungai Manukrawa (Cimanuk). Setelah masing-masing kelompok menggerakan pasukannya, tibalah kedua kelompok itu di pos pertama. Mereka mendirikan tenda disitu sambil menunggu kedatangan bala bantuan tambahan dari Kerajaan Singanagara, Kerajaan Sundu Gumita, dan Kerajaan Bumi Sagandu.
Setelah gabungan pasukan dari 7 kerajaan bawahan Tarumanagara itu semua berkumpul, malam harinya Prabu Wiryabanyu sebagai pimpinan perang dari semua kerajaan memerintahkan seluruh pasukannya untuk bersiap-siap menyerang komplotan Cakrawarman saat fajar datang.
Serangan sekutu Tarumanagara dengan kekuatan besar, datang dari berbagai penjuru serta dilakukan secara mendadak. Cakrawarman dan pasukannya terlihat kewalahan dan banyak yang tewas. Meskipin begitu, beberapa panglima tinggi Tarumanagara yang membelot masih bisa memberikan perlawanan. Cakrawarman yang melihat Prabu Wiryabanyu memimpin pasukan musuhnya, marah dan segera menghampiri raja Indraprahasta itu. Namun sebelum sampai menghadang Prabu Wiryabanya, pasukan bhayangkara yang bersenjatakan tombak dan panah telah terlebih dahulu merobohkan Cakrawarman hingga tewas.
Dalam peristiwa itu, sebagian besar komplotan Cakrawarman termasuk pembesar-pembesarnya tewas. Sedangkan beberapa komplotan yang terluka dibawa ke Jayasingapura (ibu kota Tarumanagara) untuk diadili. Mereka yang benar-benar terlibat kemudian dihukum mati, sedangkan yang hanya ikut-ikutan dikenai denda.
Prabu Wiryabanyu dan seluruh orang yang berjasa dalam aksi penumpasan itu diberi hadiah oleh Wisnuwarman. Beberapa jabatan tinggi yang selama ini dipegang oleh para pembelot langsung diganti oleh orang-orang dan panglima dari Kerajaan Indraprahasta.
Prabu Wisnuwarman memiliki dua orang permaisuri, yang pertama bernama Suklawarmandewi (adik dari raja Kutai), dan yang kedua bernama Suklawatidewi (puteri Prabu Wiryabanyu). Dari permaisuri yang pertama, Wisnuwarman tidak memiliki keturunan, karena sang permaisuri wafat dalam usia muda disebabkan penyakit lambung yang berkepanjangan. Penerus selanjutnya tahta Tarumanagara jatuh pada Indrawarman (puteranya dari isteri kedua).

5. Maharaja Indrawarman  (455 - 515 M)
Sebagai raja Tarumanagara ke-5, beliau diberi nama nobat yaitu Sri Maharaja Indrawarman Sang Paramarta Saktimahaprabawa Lingga Triwikrama Buanatala.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Indrawarman dibantu oleh beberapa bawahan yang setia. Orang-orang kepercayaannya itu antara lain :
Karabawarman (pamannya), menjabat sebagai menteri
2.  Widalawarman (adiknya), menjabat sebagai menteri angkatan perang.
Dalam pemerintahan Indrawarman, kerajaan yang dipimpinnya memperoleh kemakmuran dan kesejahteraan. Perdagangan melalui jalur laut semakin berkembang. Karena itu gelombang pendatang ke Tarumanagara semakin banyak mengalir dan diterima dengan penuh persaudaraan. Stabilitas keamanan pun semakin kuat karena pengaruh prajurit  Indraprahasta yang kini setia mengabdi pada Tarumanagara.
Indrawarman adalah seorang raja yang sangat toleran terhadap perkembangan agama di wilayahnya. Meskipun beliau dan sebagian besar lingkungan keraton memeluk agama Wisnu, tetapi para penduduk dibebaskan dan dihormati dalam hal memilih kepercayaan yang dianut.
Indrawarman memiliki beberapa orang putera dan puteri, diantaranya adalah :
1. Candrawarman, sebagai putra mahkota yang kelak menggantikannya.
2. Komalasari, puteri ini menikah dengan menteri dari kerajaan Kendari.
3. Santawarman, memilih menjadi seorang brahmanaresi.

6. Maharaja Candrawarman  (515 – 535 M)
Beliau dinobatkan sebagai raja Tarumanagara ke-6 dengan gelar Sri Maharaja Candrawarman Sang Harimangsa Purusakti Suralagawagengparamarta. Setelah penobatannya, beliau mengirimkan duta kerajaan untuk menyampaikan surat pemberitahuan mengenai penobatannya sebagai raja Tarumanagara yang baru.
Di masa kekuasaannya, Tarumanagara dalam keadaan yang tentram damai dan sejahtera. Sikap toleran ayahnya kepada para pemeluk agama tetap dipakai oleh Candrawarman.
Pada tahun 532, sikap toleransi itu semakin melebar kepada sikapnya dalam memerintah terutama pada raja-raja daerah yang selama ini telah teruji kesetiaannya. Kebijakan   ini diambil sebagai hadiah kepada daerah-daerah tersebut, yang dianggap setia kepada Tarumanagara. Saat itu banyak dari kerajaan daerah yang sebelumnya pernah ditaklukan Purnawarman diberikan  kemerdekaan.
Candrawarman memiliki 4 orang anak, mereka itu antara lain :
1. Suryawarman, kelak menggantikan kedudukan Candrawarman.
2. Mahisawarman, menjadi menteri Kerajaan Tarumanagara.
3. Matsyawarman, menjadi panglima angkatan laut Tarumanagara.
4. Dewi Bayusari, diperistri oleh putra mahkota Kerajaan Pali (Sumatera tengah dan Utara).
Candrawarman wafat pada bulan Februari / Maret tahun 535.
 

7. Maharaja Suryawarman  (535 – 561 M)
Merupakan Raja Tarumanagara yang ke-7. Beliau dinobatkan menjadi  raja setelah ayahnya wafat, dan beliau diberi gelar Sri  Maharaja Suryawarman Sang Mahapurusa   Bimaparakrama   Hariwangsa   Digwijaya. Seperti   tradisi  raja-raja Tarumanagara  sebelumnya,  Suryawarman  pun  mengirimkan  duta  kepada kerajaan sahabat yang memberitahukan bahwa Candrawarman telah wafat dan kini kekuasaanTarumanagara dipegang oleh dirinya. Kerajaan sahabat itu antara lain negara-negara di sebelah barat dan timur Semenanjung (termasuk Cina) dan kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Dalam masa kekuasaannya, Suryawarman membawa Tarumanagara ke dalam puncak kebesarannya. Wilayah timur yang sebelumnya kurang diperhatikan, menjadi prioritas utama dalam pengembangan potensi kerajaan. Seperti juga kebijakan politik ayahnya, Suryawarman pun melakukan hal yang serupa, dimana daerah-daerah yang belum merdeka akhirnya dibebaskan. Tidak hanya itu, daerah-daerah tersebut diberikan hak otonom penuh untuk mengurus pemerintahannya sendiri dan pergantian kekuasaan di tiap daerah diserahkan kepada keturunan penguasa setempat. Beliau memiliki 3 orang anak, antara lain :
1. Kretawarman, kelak menjadi raja Tarumanagara selanjutnya.
2. Sudawarman, sejak kecil tinggal di Kanci (India Selatan) dan kemudian menikah dengan adik dari raja Palawa.
3. Tirtakancana, yang kemudian menikah dengan Maharesi Manikmaya (raja Kerajaan Kendan).
Dari Manikmaya inilah Suryawarman mendapatkan cucu yang bernama Rajaputra, cucunya ini tinggal di Ibukota Tarumanagara bersama Suryawarman (kakeknya). Kemudian Rajaputra menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara.
Suryawarman meninggalkan sebuah prasasti yang dibuat pada tahun 458 Saka atau 536 Masehi dalam bentuk batu tulis. Beberapa abad kemudian, prasasti peninggalannya ditemukan di sebuah tepian sawah yang berada dalam wilayah Kampung Muara (Cibungbulang), Bogor. Pada prasasti tersebut, angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan "angkanam vamato gatih" (angka dibaca dari kanan) dan terdiri dari 4 baris. Isi dari prasasti tersebut adalah (terjemahannya menurut Bosch) :
ini sabdakalanda rakryan juru panga
mbat i kawihaji panyca pasagi marsa
ndeca barpulihkan haji sunda
"Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam (tahun Saka) (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan daerah dipulihkan kepada raja Sunda".
          
Kata “raja Sunda” dalam prasasti ini bermaksud untuk menyebutkan jati diri dari Suryawarman selaku raja Tarumanagara yang saat itu beribukota di kota Sundapura.

8. Maharaja Kretawarman  (561 – 628 M)
Beliau merupakan raja Tarumanagara ke-8, yang bergelar Sri Maharaja Kretawarman Mahapurusa Hariwangsa Digwijaya Salakabumandala. Pada tahun 565, Kretawarman mengadakan hubungan diplomatik dengan Cina, India, Syangka, Yawana, Campa, Kamboja, Sopala, Gaudi (Benggala), Semenanjung, Singanagara, dan Mahasin (Singapura). Melalui utusannya, beliau bermaksud untuk melanjutkan jalinan kerjasama seperti raja-raja Tarumanagara sebelumnya dengan negara-negara sahabat.
Salah satu utusan Tarumanagara yang dikirimkan ke Cina, pernah mendapat rintangan di tengah perjalanannya. Ketika itu, mereka baru sampai di Laut Cina, dan dihadang oleh kawanan bajak laut. Maka terjadilah pertempuran antara pihak Tarumanagara dengan perompak kapal tersebut. Di saat pertempuran berlangsung, kapal angkatan laut Cina datang membantu dan akhirnya para bajak laut itu bisa dikalahkan. Mayat-mayat para perompak itu ditumpuk menjadi satu di atas geladak kapalnya, dan kemudian dibakar oleh prajurit Cina. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, akhirnya kapal utusan Tarumanagara mendapat pengawalan khusus dari kapal perang Cina hingga sampai ke negeri tirai bambu tersebut.
Kretawarman memiliki permaisuri yang berasal dari Kerajaan Calankayana. Tetapi di suatu saat, Kretawarman bertemu dengan seorang gadis yang akhirnya menjadi pangkal bencana di Kerajaan Tarumanagara.
Pertemuan dengan gadis itu terjadi saat sang raja berburu di hutan dekat sungai Candrabagha. Di hutan tempat Cakrawarman berburu terdapatlah sebuah pondok milik keluarga yang berprofesi sebagai pencari kayu bakar. Kecantikan dari anak pencari kayu bakar, membuat Kretawarman kagum. Beberapa saat kemudian, seorang saudagar Sumatera yang mengetahui Kretawarman menyukai gadis itu akhirnya membawa sang gadis ke Sumatera dan memberinya nama Satyawati. Setelah Satyawati dewasa akhirnya saudagar Sumatera itu menghadiahkan Satyawati pada Kretawarman.
Di masa-masa awal, Satyawati hanya dijadikan sebagai seorang selir bagi Kretawarman, namun rupanya Satyawati menginginkan menjadi permaisuri (istri raja yang syah). Dikarenakan Kretawarman  tidak mempunyai keturunan dari permaisurinya, maka Satyawati merancang skenario yang seolah-olah dia sedang mengandung seorang anak dari Kretawarman. Sang raja yang sangat mengharapkan keturunan sedangkan permaisurinya yang syah tak kunjung memberinya keturunan, Kretawarman saat itu merasa senang mendengar kabar bahwa Satyawati  sedang mengandung.
Karena keadaan itu, maka Kretawarman akhirnya menjadikan Satyawati sebagai permaisuri. Setelah maksudnya tercapai, akhirnya Satyawati mengaku kepada Kretawarman bahwa kandungannya itu hanyalah sebuah rekayasa belaka. Namun  karena cintanya yang teramat sangat pada Satyawati, Kretawarman tidak bisa berbuat apa-apa dan beliau sendiri menyadari bahwa selama ini dirinya memang mandul. Untuk menutupi rekayasa selama ini, akhirnya Kretawarman dan Satyawati memutuskan untuk mengangkat seorang anak yang diberi nama Brajagiri. Sama halnya silsilah Satyawati, anak yang diangkatnya ini juga merupakan seorang anak dari pencari kayu bakar.
Sepandai-pandainya  mereka   menyimpan  rahasia,   akhirnya   rahasia  itu terbongkar juga dan menjadi pergunjingan di lingkungan keraton. Mereka mencela perbuatan Kretawarman yang telah menikahi dan mengangkat anak dari kasta sudra. Tradisi kerajaan yang saat itu dipegang teguh, menegaskan bahwa seorang wanita sudra tidak boleh dijadikan istri oleh sang raja.  Karena itulah, Kretawarman telah dianggap melakukan pelanggaran besar.
Meskipun demikian, tahta yang dipegang oleh Kretawarman tetap tak tergoyahkan. Bahkan, Brajagiri diangkat oleh Kretawarman sebagai senapati kerajaan. Kritikan tajam mengenai kebijakannya ini tak dihiraukan oleh sang raja yang saat itu didukung oleh bhayangkara yang sangat setia padanya. Saat Kretawarman wafat, tahta Tarumanaga segera diambil alih oleh adiknya yang bernama Sudawarman.

9. Maharaja Sudawarman  (628 – 639 M)

Dinobatkan sebagai raja Tarumanagara ke-9 dengan gelar Sri Maharaja Sudawarman Mahapurusa Sang Paramartaresi Hariwangsa. Beliau sejak kecil tinggal di Kanci (wilayah Kerajaan Palawa di India Selatan), dan datang ke Tarumanagara untuk mengisi kekosongan kekuasaan setelah kakaknya tidak mempunyai keturunan.
Sudawarman memiliki sikap penyabar dan berbudi luhur. Karena itulah, Brajagiri yang selama ini kehadirannya sering menimbulkan kontra di lingkungan istana tetap dipertahankan jabatannya sebagai senapati. Namun sikap baik yang dimilikinya itu tidak dapat mengangkat pamor Tarumanagara yang mulai menurun. Kebesaran Tarumanagara mulai tertandingi oleh kerajaan-kerajaan baru yang mulai muncul di saat itu. Di wilayah barat Jawa sendiri, saat itu muncul Kerajaan Galuh.
Beliau memiliki seorang permaisuri yang dinikahinya saat masih berada di India. Permaisuri tersebut merupakan adik dari Mahendrawarman  (raja Kerajaan Palawa). Dari pernikahan dengan permaisuri yang tidak diketahui namanya itu, Sudawarman memiliki seorang putera yang bernama Dewamurti.

10. Maharaja Dewamurti  (639 – 640 M)

Raja ini dilahirkan dan dibesarkan di India dan menjadi raja Tarumanagara ke-10 menggantikan ayahnya yang wafat. Saat penobatan, beliau diberi gelar Sri Maharaja Dewamurtyatma Hariwangsawarman Digwijaya Bimaparakarma. Beliau memiliki 2 orang anak, antara lain :
1.  Mayasari, Puterinya ini kemudian menikah dengan raja Cupunagara yang bernama Nagajaya.
2.  Astuwarman, kelak menjadi Purohita (pendeta tertinggi istana).
Dewamurti memiliki perangai yang keras serta tidak mengenal belas kasihan, sikap ini mungkin didapatkan dari tempaan tradisi dan budaya India yang lebih keras daripada Tarumanagara.
Dewamurti sangat membenci Brajagiri (anak angkat uwaknya) yang dianggap dapat mengganggu kekuasaannya, dan ketidak senangannya ini diperlihatkan secara terang-terangan. Dewamurti menunjukan sikap bukan seperti ksatria umumnya, beliau  seringkali mencela dan memperolok Brajagiri di depan khalayak. Brajagiri yang selama ini menjabat sebagai senapati, diturunkan jabatannya menjadi penjaga gerbang keraton. Selain itu, Brajagiri pun dikucilkan dari lingkungan keraton.Seperti tradisi di India yang begitu ekstrim terhadap penggolongan kasta, maka Dewamurti memberikan jabatan perwira rendahan (hulu ning wira kanista) kepada Brajagiri dengan dalih bahwa seorang berkasta sudra tidak pantas memegang jabatan tinggi.
Sikap pelecehan Dewamurti terhadap Brajagiri, membuat mantan senapati itu sakit hati. Meskipun berusaha untuk sabar, tetapi Brajagiri akhirnya tidak dapat menahan diri lagi. Setelah menunggu waktu yang tepat, Brajagiri berhasil membunuh Dewamurti.
Pembunuhan ini murni atas balasan sakit hatinya, bukan usaha untuk mengkudeta kekuasaan. Karena itulah, perbuatannya dilakukan seorang diri tanpa melibatkan orang lain atau membentuk suatu komplotan. Setelah berhasil membunuh sang raja, Brajagiri melarikan diri di hutan.
Persembunyian Brajagiri, diketahui oleh menantu dari Dewamurti yang bernama Nagajaya (raja Kerajaan Cupunagara). Atas dasar membalas kematian dari mertuanya, akhinrnya Nagajaya betarung dengan Brajagiri. Pertarungan sengit itu dimenangkan oleh Nagajaya dan Brajagiri tewas di tangannya.

11. Maharaja Nagajayawarman  (640 – 666 M)

Beliau merupakan suami dari Mayasari (puteri sulung Dewamurti). Setelah mertuanya dibunuh oleh Brajagiri, maka Nagajaya naik tahta untuk menggantikan mertuanya. Saat penobatan, raja Tarumanagara ke-11 ini diberi gelar Sri Maharaja Nagajaya Warman Darmasatya Cupujayasatru.
Di masa kekuasaannya, Nagajayawarman mengangkat adik iparnya yang bernama Astuwarman sebagai purohita (pendeta tertinggi istana). Dari pernikahannya dengan Mayasari, raja ini mempunyai beberapa orang anak. Putera sulungnya yang bernama Linggawarman menjadi penerus kerjaan Tarumanagara.

12. Maharaja Linggawarman  (666 – 669 M)

Merupakan Raja Tarumanagara ke-12 atau bisa dikatakan juga merupakan Raja Tarumanagara yang terakhir. Saat penobatan, beliau diberi gelar Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirtabumi. Penobatan itu dilaksanakan pada tanggal 1 April 666. Linggawarman hanya memerintah selama tiga tahun, karena ia wafat pada tahun 669.
Beliau memiliki permaisuri yang bernama Ganggasari (puteri Prabu Wisnumurti / raja Indraprahasta ke-11). Dari pernikahannya ini, mereka dikaruniai
dua orang puteri, mereka itu antara lain :
1.   Dewi Manasih, menikah dengan Tarusbawa (berasal dari Sunda Sembawa).
2. Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Jayanasa (pendiri  Kerajaan  Sriwijaya).

Setelah Linggawarman wafat di tahun 669, tampuk pimpinan Tarumanagara diserahkan pada menantunya yang bernama Tarusbawa. Namun Tarusbawa, mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda.

Peninggalan

Beberapa peninggalan dari kerajaan Tarumanegara antara lain: tujuh prasasti yang tersebar di 3 wilayah yakni 1 di Banten, 5 di Jawa Barat dan 1 di DKI Jakarta. Prasasti-prasasti tersebut antara lain :

1. Prasasti Ciaruteun, ditemukan di aliran sungai Ciaruteun, Kabupaten Bogor.  
2. Prasasti Kebon kopi, ditemukan di lahan perkebunan kopi milik Jonathan Rig tidak jauh dari penemuan prasasti Ciaruteun.  
3. Prasasti Pasir Jambu, ditemukan di puncak pasir (bukit) koleangkak, Desa Panyaungan, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. 
4. Prasati Cidanghiyang, ditemukan di aliran sungai Cidangjhiyang, Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang.  
5. Prasasti Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya (Cilincing), Jakarta Utara.  
6. Prasasti Muara Cianten, ditemukan di tepi Sungai Cisadane dekat Muara Cianten yang dahulu dikenal dengan sebutan Prasasti Pasir Muara kerana memang masuk ke wilayah Kampung Pasir Muara. 
7. Prasasti Pasir Awi, ditemukan di lereng Selatan Pasir Awi (559 m) di kawasan perbukitan Cipamingkis, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor.

Sumber : Buku Sejarah Sunda (Juganing Rajakawasa) karya Drs. Yoseph Iskandar
Sumber lainnya : Westjavakingdom.blogspot.com
Sumber Gambar : Wikipedia.org